Hamas dan sekutunya, menolak usulan Mesir untuk melepaskan kekuasaan di Jalur Gaza dengan imbalan gencatan senjata permanen. Hal itu disampaikan dua sumber keamanan Mesir.
Dilansir Reuters, Selasa (26/12/2023) Dua keamanan Mesir menyampaikan kepada Reuters pada Senin (25/12) waktu setempat. Secara terpisah, dua pejabat dari Hamas dan kelompok Jihad Islam membantah apa yang dikatakan sumber tersebut tentang perundingan itu.
"Kepemimpinan Hamas berupaya sekuat tenaga untuk mengakhiri agresi dan pembantaian rakyat kami sepenuhnya, bukan hanya sementara," katanya.
Sementara, seorang pejabat senior Jihad Islam yang mengetahui perundingan di Kairo juga menggemakan bantahan Al-Rishq. Sumber-sumber Mesir mengatakan bahwa Hamas dan Jihad Islam, yang telah mengadakan pembicaraan terpisah dengan mediator Mesir di Kairo, menolak menawarkan konsesi apa pun selain kemungkinan pembebasan lebih banyak sandera yang ditangkap pada 7 Oktober ketika militan masuk ke Israel selatan yang menewaskan 1.200 orang.
Sebelumnya, Mesir mengusulkan Israel dan Hamas membuat kesepakatan baru untuk mengakhiri perang. Proposal yang diajukan yakni kesepakatan soal gencatan senjata, pembebasan sandera secara bertahap, dan pembentukan pemerintahan Palestina yang terdiri dari para ahli yang akan mengelola Jalur Gaza dan pendudukan Tepi Barat.
Hal itu disampaikan seorang pejabat senior Mesir dan seorang diplomat Eropa, pada hari Senin (25/12/2023), dilansir AP. Proposal Mesir tersebut dikembangkan bersama negara Teluk Qatar.
Proposal tersebut telah diajukan ke Israel, Hamas, Amerika Serikat, dan pemerintah Eropa, namun masih bersifat tahap awal. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan Israel untuk langsung menghancurkan Hamas dan tampaknya tidak memenuhi desakan Israel untuk mempertahankan kendali militer atas Gaza untuk jangka waktu yang lama setelah perang.
"Menyerukan gencatan senjata awal hingga dua minggu di mana militan Palestina akan membebaskan 40 hingga 50 sandera, di antaranya perempuan, orang sakit dan orang tua, sebagai imbalan atas pembebasan 120-150 warga Palestina dari penjara Israel," kata pejabat Mesir yang enggan disebutkan namanya.
Seorang pejabat Israel mengatakan Kabinet Perang Israel, termasuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, akan bertemu pada Senin malam untuk membahas situasi penyanderaan, dan topik-topik lainnya. Namun tidak mengatakan apakah mereka akan membahas usulan Mesir tersebut.
Proposal tersebut muncul setelah serangan tiga hari berdarah di Gaza sebelum Hari Natal, di mana serangan udara Israel menewaskan puluhan warga Palestina sekaligus dan 17 tentara tewas dalam pertempuran darat di utara, tengah dan selatan wilayah tersebut.
Perang tersebut menghancurkan sebagian besar Gaza, menewaskan lebih dari 20.400 warga Palestina dan membuat hampir seluruh penduduk wilayah tersebut yang berjumlah 2,3 juta orang mengungsi.
Usulan Mesir tersebut merupakan upaya untuk mengakhiri perang namun juga menyusun rencana untuk hari berikutnya. Pada saat yang sama, negosiasi mengenai perpanjangan gencatan senjata dan pembebasan lebih banyak sandera dan jenazah yang ditahan oleh militan Palestina akan terus berlanjut.
Pejabat Mesir tersebut mengatakan Mesir dan Qatar juga akan bekerja sama dengan semua faksi Palestina, termasuk Hamas, untuk menyepakati pembentukan pemerintahan ahli. Dia menambahkan pemerintah akan memerintah Gaza dan Tepi Barat untuk masa transisi ketika faksi-faksi Palestina menyelesaikan perselisihan mereka dan menyetujui peta jalan untuk mengadakan pemilihan Presiden dan parlemen.
Para pejabat Mesir mendiskusikan garis besar proposal tersebut dengan Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas yang berbasis di Qatar, yang mengunjungi Kairo pekan lalu. Mereka berencana mendiskusikannya dengan pemimpin kelompok Jihad Islam, Ziyad al-Nakhalah, yang tiba di Kairo pada hari Minggu, kata pejabat tersebut.
Kelompok tersebut, yang juga ambil bagian dalam serangan 7 Oktober itu, mengatakan pihaknya siap mempertimbangkan pembebasan sandera hanya setelah pertempuran berakhir. Seorang diplomat Barat mengatakan mereka mengetahui usulan Mesir.
Namun diplomat tersebut, yang meminta tidak disebutkan namanya saat membahas masalah ini, ragu bahwa Netanyahu dan pemerintahannya yang keras akan menerima seluruh usulan tersebut. Diplomat itu tidak memberikan rincian lebih lanjut. [SB]