Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Donasi, pajak, hingga aset kripto - Bagaimana cara Hamas memperoleh dana?

Desember 18, 2023 Last Updated 2023-12-17T22:53:49Z


Jaringan keuangan Hamas begitu kompleks dan buram, tetapi akarnya memanjang jauh ke luar Jalur Gaza.


Kelompok yang dipandang sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa ini telah diganjar dengan beragam sanksi selama beberapa dekade tanpa akses ke sistem perbankan internasional.


Kendati demikian, kelompok itu tidak terlihat seperti kekurangan dana lantaran mereka mampu melancarkan serangan dadakan ke Israel pada 7 Oktober menggunakan ribuan roket, pesawat nirawak, dan perlengkapan berteknologi mutakhir lainnya.


Bagaimana mereka membiayai kegiatan?


Hamas adalah gerakan Islami yang dibentuk pada 1987 dengan sayap politik dan militer.


Sayap bersenjata mereka, yang dikenal sebagai Brigade Izz al-ddin al-Qassam, telah melakukan banyak serangan dan bom bunuh diri terhadap Israel di masa lampau. Seperti yang diperlihatkan dalam serangan 7 Oktober - mereka memiliki akses terhadap instrumen militer.


Namun, Hamas lebih dari itu. Kelompok tersebut memerintah dan mengelola Jalur Gaza yang dihuni lebih dari 2,3 juta orang serta bertanggung jawab atas sekitar 50.000 orang pegawai sipil.


Sebagai organisasi politik dan sosial, Hamas juga mengumpulkan pajak dan memperoleh bantuan internasional dari berbagai pemerintah serta organisasi amal.


Kelompok ini pun memiliki portofolio investasi internasional yang seringkali menggunakan aset kripto sebagai alat untuk menghindari sanksi-sanksi internasional. 


Qatar


Negara ini adalah salah satu negara paling kaya di dunia dan, bersama dengan Turki, mendukung Hamas setelah kelompok tersebut berseteru dengan rival mereka, Fatah, pada 2007.


Ketika Israel menerapkan blokade terhadap Gaza pada tahun yang sama, Qatar memutuskan untuk mendukung penduduk Palestina di Jalur Gaza dengan bantuan kemanusiaan.


Pada 2012, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani, emir Qatar saat itu, merupakan kepala negara pertama yang melakukan kunjungan ke Gaza di bawah kekuasaan Hamas. Dia menjanjikan bantuan dana senilai jutaan dolar, yang pada akhirnya disetujui Israel.


Qatar telah menawarkan sebuah bentuk dukungan politis kepada Hamas dengan mengizinkan para pemimpinnya menetap di Doha, setelah mereka harus meninggalkan markas bersejarah mereka di Damaskus akibat perang sipil.


Ismail Haniyeh, yang dipandang sebagai pemimpin Hamas, dan Khaled Meshaal, penerusnya, berbasis di ibu kota Qatar, Doha. Begitu juga dengan pemimpin-pemimpin Taliban hingga mereka kembali menguasai Afghanistan pada musim panas 2021.


Sejak itu Qatar menjadi pemain kunci dalam beragam negosiasi dengan kelompok-kelompok yang oleh negara-negara Barat dianggap teroris serta sulit diajak bernegosiasi secara langsung karena terkendala hukum dan opini publik.


Peran perantara antara Hamas dan Israel, yang biasanya dipegang Mesir, kini sebagian besar diemban Qatar - seperti yang kini kita lihat dalam negosiasi-negosiasi mengenai para sandera Israel yang diculik kelompok militan itu.


Qatar, yang merupakan basis terbesar militer AS di Timur Tengah, telah mengirimkan bantuan kemanusiaan senilai miliaran dolar kepada rakyat Palestina selama bertahun-tahun untuk meringankan imbas blokade Israel terhadap Gaza. Doha berkeras uang ini untuk rakyat Palestina, bukan Hamas.


Tidak jelas seberapa besar bantuan ini sebenarnya, tetapi analis-analis memperkirakan antara US$1 miliar (Rp15,5 triliun) dan US$2,6 miliar (Rp40,3 triliun) sejak 2014. Dana ini telah membantu rekonstruksi Jalur Gaza setelah dilanda berbagai perang dengan Israel.


Pada 2016, Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, mengumumkan bahwa negaranya akan mengalokasikan 113 juta real Qatari (sekitar Rp465 miliar) untuk “meringankan penderitaan saudara-saudara kami di Jalur Gaza dan kesulitan-kesulitan keuangan serius yang mereka hadapi akibat pengepungan tidak adil yang dilakukan terhadap mereka oleh pendudukan Israel”.


Uang ini, yang dibayarkan setiap bulannya, dipakai untuk menggaji hampir 50.000 pegawai sipil Gaza, membeli bahan bakar untuk memasok listrik Jalur Gaza, dan membantu keluarga-keluarga termiskin, yang setiap bulannya mendapatkan dana bantuan senilai $100 (sekitar Rp1,2 juta).


Dana-dana ini ditransfer dengan koordinasi bersama AS dan Israel, sebagaimana dijelaskan Khaled al Hroub, Profesor Studi Timur Tengah dari Universitas Northwestern di Qatar kepada BBC.


“Dolar-dolar yang datang ke teritori-teritori Palestina, termasuk Gaza, barangkali merupakan yang paling dimonitor di dunia, mengingat mata-mata AS, Israel, Yordania, dan Mesir mengawasi uang dengan cermat menngingat sebagian uang datang melalui bank-bank mereka,” ujar ahli Palestina itu, yang juga menulis beberapa buku tentang Hamas.


Uang itu ditransfer dari Doha ke Israel kemudian masuk ke Gaza dalam koper-koper berisikan uang kertas yang dibawa perwakilan-perwakilan Qatar melalui penyeberangan Erez di bagian utara Jalur Gaza.


Uang itu didistribusikan melalui kantor-kantor pos dan supermarket-supermarket menuju para pegawai sipil dan keluarga-keluarga miskin.


Beberapa pengamat meyakini sebagian uang bantuan internasional ini berujung di tangan-tangan sayap bersenjata Hamas.


Hamas selalu menyanggah ini dan al Hroub meyakinkan bahwa tidak ada bukti tentang ini:


“Masalah ekonomi utama Hamas bukanlah membiayai partai atau sayap bersenjata mereka, itu hampir merupakan bagian mudahnya. Yang paling sulit adalah mendanai jutaan warga Palestina yang menderita di Gaza, dan Hamas merasakan tekanan itu.”


Uang Qatar dan bantuan internasional, tegas analis Palestina itu, “sudah lama dilihat hampir sebagai pereda rasa nyeri, menangani gejala tapi bukan akar masalahnya.”


Organisasi bantuan kemanusiaan utama di Gaza adalah UNRWA, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Tengah. Bantuan mereka didistribusikan langsung oleh tim-tim mereka, yang sebelumnya telah melewati kontrol, kata seorang juru bicara UNRWA kepada BBC.


Badan ini juga diaudit setiap tahunnya oleh lembaga independen.


“Semua pembayaran ke kontraktor, penyuplai dan staf diproses melalui sebuah entitas perbankan yang merupakan bagian dari regulasi-regulasi Pembiayaan Kontra-Teroris,” juru bicara itu menjelaskan.

 Iran


Hamas merupakan salah satu anggota aliansi yang dikenal sebagai Poros Perlawanan. Aliansi tersebut dipimpin Iran dan mencakup, antara lain, Suriah serta kelompok Hezbollah di Libanon. Kesamaan utama mereka adalah sentimen anti-Israel dan anti-Amerika.

Untuk membendung pengaruh Israel dan menjamin keselamatan pemerintahan Ayatollah, Teheran memelihara jaringan sekutu di kawasan yang dibantu dengan “pembiayaan, pelatihan, atau persenjataan,” tulis Sanam Vakil, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara lembaga kajian Chatham House, dalam artikel baru-baru ini yang diterbitkan lembaga itu.

Jaringan sekutu tersebut mencakup Hamas dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina lainnya, yang semakin didukung Iran semenjak 1990-an, menurut Vakil.

Menurut Departemen Luar Negeri AS, dukungan tercermin dalam dana sebesar $100 juta yang dikirim setiap tahun ke kas Hamas, Jihad Islam Palestina, dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina.

Walaupun Hamas dan Iran berbeda pendapat saat kelompok Palestina itu menolak mendukung Bashar al Assad dalam perang sipil Suriah, “pendanaan Iran tidak pernah putus. Mungkin mereka memangkas sejumlah aktivitas politik, tetapi pendanaan-pendanaan terhadap kelompok bersenjata terus berlanjut,” ucap Matthew Levitt, seorang analis dari Washington Institute for Near East Policy.

Menurut al Hroub,” tidak jelas seberapa banyak uang yang diperoleh Hamas dari Iran setiap tahunnya, tetapi jelas-jelas mereka menerima pembiayaan.”

Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, mengakui pada 2022 dalam wawancara dengan Al Jazeer, bahwa Iran merupakan pendonor utama mereka dan telah berkontribusi sebanyak US$70 juta (Rp1,08 triliun) untuk pengembangan sistem rudal.

Yang terbaru, dalam wawancara dengan kanal berita Russia Today sehari setelah serangan Hamas terhadap Israel, Ali Baraka, kepala bidang hubungan internasional Hamas, mengatakan bahwa Iran “yang pertama dan paling utama” dari pendonor-pendonor mereka. Iran, tambahnya, menyediakan uang dan juga persenjataan.
Kementerian Luar Negeri Iran mengenai dugaan aliran dana Teheran terhadap Hamas.

Pajak


Sebagai otoritas yang memerintah Gaza, Hamas mengumpulkan uang pajak dari barang-barang impor - termasuk barang-barang yang diselundupkan melalui berbagai terowongan dengan Mesir - serta aktivitas komersial lainnya di Jalur Gaza. Kendati demikian, tidak jelas seberapa banyak uang ini terkumpul setiap bulannya.

Jumlahnya bervariasi dari US$15 juta (Rp232 miliar), kata Kementerian Keuangan Gaza kepada koresponden BBC di Gaza, Rushdi Abualouf, pada 2016, hingga US$300 juta (Rp4,6 triliun) hingga US$450 juta (Rp7 triliun) seperti dikatakan analis-analis seperti Matthew Levitt.

Yang jelas tingkat pajak di Gaza cukup tinggi sekalipun tingkat pengangguran mencapai 45% dan fakta bahwa 80% dari populasinya membutuhkan bantuan kemanusiaan sebelum perang, menurut PBB.

“Gaza dan Tepi Barat diperintah oleh birokrasi yang sama, kendati tingkat pendapatannya sangat berbeda,” kata al Hroub.

Hal ini ditambah pajak-pajak lainnya yang Hamas tambahkan selama beberapa tahun belakangan “sebagai kompensasi atas blokade”, seperti pajak rokok, pajak impor jins, kendaraan atau produk-produk makanan tertentu yang dianggap mewah atau bukan bahan dasar, menurut profesor Universitas Northwestern itu.

Bagi Levitt, “ketika suatu pihak mengambil pajak untuk semuanya, dan terus menerus, pada akhirnya ini adalah pemerasan, sebuah praktik mafia.”

Meningkatnya pajak dan bea telah menimbulkan keresahan masyarakat dan sejumlah aksi protes di antara para pengimpor, yang kemudian ditekan Hamas.

Portofolio investasi
Menurut Departemen Perbendaharaan untuk Pengawasan Aset Luar Negeri AS (OFAC), Hamas memiliki kantor investasi internasional dengan aset diperkirakan senilai US$500 juta (Rp7,7 triliun).

Jaringan ini memiliki perusahaan-perusahaan di berbagai negara seperti Sudan, Turki, Arab Saudi, Aljazair, dan Uni Emirat Arab, menurut OFAC. Departemen itu meyakini bahwa Dewan Shura dan Komite Eksekutif Hamas, yang berisi pemimpin-pemimpin top Hamas, mengontrol dan mengawasi portofolio investasi ini.

Aset kripto dan donasi
Hamas juga menggantungkan keuangan mereka pada donasi-donasi yang diterimanya dari simpatisan-simpatisan di Palestina, negara-negara Arab, dan di luar wilayahnya, tutur al Hroub.

Donasi-donasi ini, seringkali melalui cara zakat, telah membantu mendanai Hamas.

Hamas memiliki berbagai cabang, sehingga ketika mereka meminta uang melalui sumber-sumber pendanaan yang tidak resmi ini, Hamas tidak berkata bahwa uangnya akan digunakan untuk mendanai sayap militer mereka. “Tapi [Hamas] meminta uang untuk sekolah, rumah sakit, atau kampanye politik,” ujar al Hroub, penulis buku “Hamas: Political Thought and Practice” and “Hamas: A Beginners Guide” atau “Hamas: Pikiran dan Praktik Politik” dan “Hamas: Pedoman untuk Pemula.”

Dia mengenang bahwa setelah Intifada Kedua, ketika AS meluncurkan kampanye “Perang Melawan Teror” untuk memangkas pendanaan kepada grup-grup yang mereka anggap teroris, “Hamas dapat mengumpulkan dana sebesar US$1,5 juta (Rp23,2 miliar) hingga US$2 juta (Rp31 miliar) dalam satu hari setelah salat-salat Jumat di Gaza.”

Ketika Hamas berupaya mengumpulkan dana melalui organisasi-organisasi amal, “mereka tidak mengatakan uang-uang itu digunakan untuk mendanai Hamas, tetapi mereka menaruh foto seorang anak yang berdarah-darah” sebut Matthew Levitt, yang memperkirakan bahwa “sebagian besar dari uang itu akan pada akhirnya digunakan untuk tujuan-tujuan militer”.

Sejak 2019, sebagian dari donasi-donasi ini dilakukan melalui aset kripto.

“Hamas adalah salah satu dari yang pertama menggunakannya atau setidaknya meminta donasi-donasi berupa aset kripto,” tutur Ari Redbord, kepala global untuk isu-isu kebijakan dan pemerintahan di TRM Labs, sebuah perusahaan teknologi intelijen rantai blok.

Dia mengatakan Hamas awalnya menggunakan Bitcoin tetapi sejak 2022 telah menambahkan mata uang digital Tron.

Aset kripto memungkinkan uang dalam jumlah besar untuk digerakkan melewati batas negara yang jauh lebih cepat dibandingkan transfer uang konvensional, dan ini membuat teknologi tersebut “sangat menarik untuk aktor-aktor legal dan terlarang,” tutur Redbord.

Kendati demikian, teknologi ini dapat dilacak melalui cara yang kian canggih, yang membuat pemerintah-pemerintah seperti Israel dan Amerika Serikat mampu melacak donasi-donasi aset kripto untuk Hamas secara efisien.

Menurut TRB Labs, pada 2020 Kementerian Hukum AS menyita 150 alamat aset kripto yang diasosiasikan dengan Hamas, yang dikumpulkan di Telegram dan situs-situs.

“Ratusan dari alamat-alamat lain juga telah disita oleh otoritas Israel dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan, sampai-sampai Hamas mengatakan pada April 2023 bahwa mereka berhenti mengumpulkan dana berupa aset kripto sebab pendonor-pendonor mereka menjadi target,” ujar Redbord.

Walaupun momen-momen kekerasan biasanya terjadi ketika para pendonor paling banyak bergerak, TRM Labs tidak melihat lonjakan pengumpulan dana sejak 7 Oktober, hanya sekitar US$20.000 (Rp310 juta).

“Aset kripto adalah potongan yang sangat kecil dari puzzle pendanaan teror,” pungkas Ari Redbord.
×