Israel pernah ketahuan menggelar operasi rahasia di media sosial dengan melibatkan para influencer untuk menjaga citra di mata publik ketika konflik Gaza pada 2021.
Pada 2021, militer Israel berperang selama 11 hari melawan Hamas di Gaza. Pertempuran kala itu menewaskan lebih dari 260 warga Palestina dan 13 warga Israel.
Beberapa hari setelah perang dahsyat Israel dengan militan Gaza pada tahun 2021, tentara Israel mulai mengerahkan pasukannya ke front berbeda: operasi rahasia di media sosial untuk menyanjung operasi pemboman militer.
Dikutip dari AP, Maret 2023, militer Israel mengaku membuat "kesalahan" terakait kampanye pengaruh rahasia di media sosial demi meningkatkan citranya di mata masyarakat Israel dalam konflik tersebut.
Harian Haaretz Israel pertama kali mengungkap operasi media sosial tersebut pada Rabu (22/3). Modusnya, tentara Israel menggunakan akun palsu untuk menyembunyikan asal-muasal kampanye tersebut di Twitter, Facebook, Instagram, dan TikTok.
Para ahli mengatakan militer Israel sering menggunakan akun media sosial yang tidak autentik untuk mengumpulkan informasi intelijen mengenai negara-negara Arab dan warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki.
Namun, kampanye pengaruh kali itu adalah yang pertama kalinya menargetkan warga Israel.
Uri Kol, pakar kampanye digital, mengatakan pengungkapan tersebut dapat mengisyaratkan tentara Israel menggunakan taktik tersebut secara diam-diam terhadap Israel sebelumnya.
"Dengan undang-undang sensor militer yang ketat, tentara selalu mempunyai keputusan akhir mengenai apa yang akan dipublikasikan dan apa yang tidak," katanya.
"Apa yang kami lihat di sini hanyalah sebagian kecil dari kampanye manipulasi online yang belum pernah kami lihat sebelumnya."
Akun-akun tentara Israel tersebut memposting dan memperkuat rekaman dan gambar kehancuran di Gaza dengan tagar Ibrani "Gaza Regrets."
Usinya adalah bualan tentang kekuatan militer Israel dalam upaya untuk melawan gambar-gambar viral yang menunjukkan tembakan roket Palestina yang membombardir Tel Aviv.
Akun-akun ini menargetkan warga sayap kanan Israel, sambil menandai pembawa acara TV konservatif dan politisi populer seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, dan mengunggahnya ke kelompok pendukung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Tujuannya adalah menyebarkan pesan tersebut kepada khalayak yang bersimpati.
Postingan populer dengan tagar #Gaza Regrets mengundang komentar-komentar permusuhan dari warga Israel, seperti "Kenapa gedung-gedung masih berdiri di Gaza?"
"Ini menunjukkan kerangka berpikir tentara yang ingin meyakinkan generasi muda dan membuat mereka bersemangat untuk berperang," kata Kol.
Merespons laporan ini, militer Israel mengaku mengoordinasikan kampanye tersebut dengan influencer media sosial, memberi mereka gambar dan tagar untuk membicarakan pencapaian militer dan menunjukkan kerusakan yang ditimbulkannya di Gaza.
Namun, semua upaya tentara Israel sia-sia. Tagar tersebut gagal viral, hanya mendapatkan sedikit like dan share, menurut laporan Haaretz.
Para ahli menyebut kampanye pengaruh online yang sukses menggunakan identitas palsu membutuhkan waktu bertahun-tahun dan ratusan ribu dolar untuk mendapatkan kepercayaan pengikut.
Dalam sebuah pernyataan, militer Israel mengakui bahwa mereka menggunakan "jumlah terbatas" akun palsu selama sehari "untuk meningkatkan paparan."
"Jika ditinjau kembali, ditemukan bahwa penggunaan akun-akun ini adalah sebuah kesalahan," kata militer Israel, sambil mengatakan bahwa mereka tidak menggunakan taktik tersebut sejak perang.
Mereka juga mengklaim mendekati influencer media sosial yang bergabung dalam operasi tersebut dalam kapasitas resmi sebagai juru bicara unit militer.
Militer Israel mengatakan "berkomitmen pada kebenaran dan sebisa mungkin mematuhi laporan yang dapat diandalkan dan akurat."
Kembali rekrut influencer
Dalam perang Israel-Hamas terbaru sejak 7 Oktober, Israel kembali dituding melakukan kampanye media sosial dengan merekrut sejumlah pemengaruh.
Dilansir Parstoday, Israel dituding mendekati sejumlah influencer untuk melakukan kampanye di media sosial, salah satunya adalah Sara Watson yang merupakan seorang influencer asal Inggris.
Sara mengaku didekati oleh rezim Israel, disuap, dan bahkan dipaksa untuk mencabut dukungannya terhadap Palestina.
Kemudian, seorang aktivis media sosial Sulaiman Ahmed juga mengunggah video yang menayangkan influencer Amerika Serikat (AS) yang mengklaim pihak Israel membayar US$1.000 untuk setiap video kontra Palestina yang diunggah.
"Tahukah Anda bahwa Israel membayar para influencer di media sosial sebesar US$1000 per video untuk membuat laporan tentang Hamas yang jahat dan biadab, memenggal kepala bayi dan melakukan semua ini dan membela hak Israel untuk mempertahankan diri dalam genosida ini. Mereka membayar para influencer sebesar US$1000 per video," kata orang dalam video yang diunggah Sulaiman pada 20 Oktober 2023.
Sejauh ini, Israel belum mengonfirmasi tudingan-tudingan tersebut.[SB]