Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan saat ini dunia sudah memasuki era global boiling atau pendidihan global, bukan lagi pemanasan global. Apa maknanya?
"Karena memang Bumi kita tengah sakit, PBB menyebutkan saat ini bukan lagi global warming, tetapi sudah masuk ke global boiling," kata dia, dikutip dari siaran di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (31/10).
Jokowi kemudian merinci jika suhu Bumi mengalami kenaikan lebih dari 1,5 derajat Celsius, hal ini akan berdampak fatal terhadap kehidupan manusia. Kondisi itu, kata dia, diprediksi akan mengakibatkan 210 juta orang di seluruh dunia alami kekurangan air hingga 14 persen populasi akan terpapar gelombang panas.
Tak hanya itu, ia juga merinci kondisi demikian bisa akibatkan 290 juta rumah akan terendam banjir pesisir dan 600 juta orang alami malnutrisi akibat gagal panen.
"Dan ini adalah ancaman nyata bagi kita semuanya," jelas Jokowi.
Pernyataan mengenai pendidihan global sempat disampaikan Sekjen PBB Antonio Guterres. Dalam sebuah kesempatan ia memperingatkan bahwa "era pemanasan global telah berakhir" dan "era pendidihan global telah tiba".
"Perubahan iklim sudah ada di sini. Itu menakutkan. Dan ini baru permulaan. Masih mungkin membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5C [di atas tingkat pra-industri], dan menghindari perubahan iklim yang paling buruk. Tapi hanya dengan aksi iklim yang dramatis dan langsung," lanjut dia.
Kenapa istilah pendidihan global itu muncul?
Pernyataan PBB ini terbit setelah para ilmuwan mengkonfirmasi bahwa Juli 2023 menjadi bulan terpanas dalam sejarah.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan program pengamatan Bumi Copernicus Uni Eropa, temperatur global bulan Juli telah memecahkan rekor.
Fenomena ini dipicu pembakaran bahan bakar fosil sehingga memacu cuaca buruk.
llmuwan dari WMO dan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Komisi Eropa menggambarkan kondisi bulan ini sebagai "insiden luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya".
"Kami dapat mengatakan bahwa tiga minggu pertama bulan Juli adalah periode tiga minggu terhangat yang pernah diamati dalam catatan kami," kata Carlo Buentempo, Direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus.
Menurut dia anomali ini sangat besar sehubungan dengan bulan-bulan lain yang memecahkan rekor, sehingga peneliti yakin bahwa bulan itu, bulan secara keseluruhan akan menjadi Juli terhangat dalam rekor dunia.
Selain itu, yang juga mengkhawatirkan adalah fakta suhu lautan berada pada level tertinggi yang pernah tercatat sepanjang tahun ini. Tren ini sudah terlihat sejak akhir April.
Merujuk laporan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, sejak 1970-an tahun 2015 hingga 2022 mencatat rekor delapan tahun terhangat.
Kondisi fenomena La Niña telah berakhir dan kini digantikan oleh El Niño yang artinya situasi suhu air laut makin menghangat. Perairan mulai memanas di Pasifik tropis, membawa kemungkinan satu dari lima tahun ke depan akan menjadi yang terpanas.
Noel Castree, seorang Profesor Bidang Kemasyarakatan & Lingkungan, Universitas Teknologi Sydney mengatakan bahwa pernyataan Guterres mengenai "pendidihan global" terlalu berlebihan.
"Pada satu sisi, 'pendidihan global' jelas berlebihan, meskipun musim panas yang ekstrem dan kebakaran selama musim panas di utara. Namun sekali lagi, 'global warming' sekarang ini adalah deskripsi yang terlalu jinak," kata Noel, mengutip The Conversation.
"Para ilmuwan iklim terkemuka telah mendorong agar istilah 'global heating' lebih dipilih. Demikian pula, frasa seperti 'krisis iklim' belum mendapatkan daya tarik di kalangan elite maupun masyarakat awam. Hal ini dikarenakan banyak dari kita yang masih merasa belum melihat krisis ini dengan mata kepala sendiri," lanjutnya.
Namun, hal ini sedang berubah. Dalam beberapa tahun terakhir, cuaca ekstrem dan peristiwa terkait telah melanda banyak negara. Frasa yang dulunya abstrak kini menjadi nyata di dunia nyata, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Skeptisisme terhadap iklim juga telah berkurang. Lebih sedikit orang yang meragukan ilmu pengetahuan dasar dibandingkan dengan periode panjang skeptisisme yang dibuat-buat di negara-negara Barat.
Dalam konteks ini, kita dapat melihat "pendidihan global" sebagai ekspresi keprihatinan kemanusiaan yang didukung oleh ilmu pengetahuan yang ketat yang menunjukkan bahwa situasi terus memburuk.
Bahaya bahasa teatrikal
Ada risiko dalam memperingatkan bencana. Orang-orang yang tidak memperhatikan berita tersebut mungkin akan mematikannya jika bencana yang diprediksi tidak terjadi.
Atau peringatan tersebut dapat menambah kecemasan iklim dan membuat orang merasa tidak ada harapan sehingga tidak ada gunanya bertindak.
Menurut Noel, risiko lain menanti. Bahasa bencana sering kali memiliki nuansa moral - dan, seperti yang kita semua tahu, kita tidak suka diberitahu apa yang harus dilakukan.
"Ketika kita mendengar frasa seperti 'pendidihan global' dalam konteks seorang pejabat terkemuka yang mendesak kita untuk berbuat lebih banyak, lebih cepat, hal ini bisa membuat kita gusar," jelasnya.[SB]