Keputusan menjadi penduduk Israel diambilnya setelah menikah dengan perempuan keturunan Israel-Arab pada 1993. Meski sudah secara sah menetap dan memiliki KTP Israel, yang menjadi legalitas penduduk Israel, bukan berarti suara lantang Omar atas situasi di Palestina meredup.
Baginya, hidup di Israel menjadi momentum terbaik. Ia makin keras menyuarakan penindasan yang terjadi selama ini.
Dalam wawancara kepada The Intercept, Omar menganggap penindasan warga Palestina oleh militer atau warga Israel sudah menjadi ancaman serius. Pasalnya sehari-hari dia melihat banyak warga Israel yang rasis dan sering melakukan tindakan kekerasan ke warga Palestina.
Sadar kalau hidup di tengah rasisme, Omar lantas tergerak hatinya untuk menyuarakan perlawanan tanpa kekerasan. Dari sini, lahirlah gerakan BDS.
Omar sendiri mengomandoi kelompok boikot Israel di ranah akademis dan budaya (Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel, PACBI). Sebagaimana dilaporkan Time, kemunculan BDS diilhami oleh peristiwa Politik Apartheid di Afrika Selatan saat warga kulit hitam mengalami penindasan oleh pendatang orang kulit putih.
Selama ratusan tahun ditindas, para warga kulit hitam selalu berjuang menuntut kesetaraan hingga akhirnya benar-benar sukses meruntuhkan dominasi kulit putih di tahun 1990-an. Perjuangan inilah yang bakal ditiru oleh Omar di gerakan BDS.
Dia percaya suatu saat nanti perjuangan rakyat Palestina juga bakal berbuah manis. Atas dasar inilah, dalam laman resminya tertulis tujuan BDS tak cuma menekan Israel di ranah ekonomi, tetapi juga untuk mengangkat kembali hak dan martabat warga Palestina sesuai dengan hukum internasional.
Terasingkan
Sebagai aktivis utama BDS, Omar kerap berpergian ke luar negeri menyuarakan aksi ini. Banyak pihak yang kemudian mendukung langkah Omar.
Dengan bantuan pemberitaan media, gerakan BDS lantas disukai oleh pihak yang mendukung kemerdekaan Palestina. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sudah ada gerakan BDS lokal yang terafiliasi dengan pusat BDS.
Para gerakan BDS di tiap negara ini kompak melakukan boikot terhadap produk atau perusahaan pendukung Israel. Meski begitu, pada sisi lain, gerakan ini jelas membuat panas pemerintah Israel atau mereka yang pro-Israel.
Praktis, derap langkah Omar menjadi sasaran empuk. Meski begitu, Omar mengaku gerakan BDS yang diciptakan di Israel tidak melanggar hukum negara sebab tak ada dasar hukum di negara Yahudi itu yang melarang pemboikotan.
"Namun, pemerintah terus mencari cara mengintimidasi, menindas, membungkam saya dengan cara lain," kata pria lulusan Tel Aviv University ini.
Hingga akhirnya, pemerintah menemukan satu cara yang membuat hidup Omar terancam. Yakni pencabutan hak tinggal yang membuatnya terusir dari Israel.
Tak cuma itu, sejak 2016, Omar juga sudah diharuskan wajib lapor apabila ingin ke luar negeri. Bahkan, pada 2019, Omar dilarang memasuki tanah AS sejengkal pun oleh otoritas Paman Sam.
Meski begitu, pembatasan gerak fisik Omar tak mengurangi aktivismenya. Dia boleh 'dikerangkeng' pemerintah, tetapi tidak dengan pikirannya.
Baru-baru ini dia menulis opini di The Guardian soal konflik Israel-Hamas bertajuk "Why I Believe the BDS Movement has Never Been More Important Than Now".
Menurutnya, kewajiban etis di masa pembantaian adalah bertindak untuk mengakhiri keterlibatan. Tindakan itu dimaksudkan untuk memasifkan gerakan BDS sebagai salah satu cara terbaik yang bisa ditempuh.
"Hanya dengan cara inilah kita dapat benar-benar berharap untuk mengakhiri penindasan dan kekerasan. [...] kami bercita-cita untuk hidup di dunia yang lebih adil, tanpa peringkat penderitaan, tanpa hierarki nilai kemanusiaan, dan di mana hak dan martabat setiap orang dihargai dan dijunjung tinggi," tulis Omar.[SB]