Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Gibran, Kuasa Jokowi dan Bayang-bayang Megawati

Oktober 30, 2023 Last Updated 2023-10-30T04:41:08Z


 

"Saya perkenalkan satu per satu. Ini yang paling gede Gibran Rakabuming Raka. Umur 27 tahun," kata Joko Widodo alias Jokowi  saat memperkenalkan keluarganya setelah menjadi presiden 20 Oktober 2014 lalu.


Gibran muncul pertama saat Ibu Negara Iriana memanggil anak-anaknya keluar dari balik pintu Istana Kepresidenan Jakarta. Menyusul kemudian dua anaknya yang lain, Kahiyang Ayu dan Kaesang Pangarep.


Gibran adalah anak sulung Jokowi. Saat itu ia sudah menjadi pengusaha. Ia membangun bisnis katering Chilli Pari. Bisnis Gibran berkembang. Ia membuka gerai martabak Makobar pada 2017.


Gibran fokus pada bisnis pada periode pertama Jokowi. Bahkan pada 2018 lalu, Gibran mengaku tak tertarik terjun ke dunia politik. Ia lebih memilih menjadi seorang pebisnis.


Namun, sikapnya tersebut berubah selang setahun kemudian. Setelah Jokowi terpilih lagi untuk yang kedua, Gibran memutuskan terjun ke dunia politik praktis. Ia mengikuti jejak sang ayah dan menjadi kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada September 2019.


Bergabungnya Gibran ke PDIP, partai yang mengantarkan Jokowi menjadi wali kota Solo, gubernur DKI Jakarta hingga presiden RI, tak lepas dari niatnya menjadi Wali Kota Solo. Ia menggeser Achmad Purnomo yang saat itu sudah diusulkan DPC Solo ke DPP PDIP untuk maju di Pilkada 2020.


Status sebagai anak presiden jelas membuat Gibran yang akhirnya dipilih DPP PDIP untuk bertarung di Pilkada Solo. Politikus senior PDIP Panda Nababan bahkan telah mengungkap campur tangan Jokowi saat itu, meskipun telah ditepis oleh Gibran beberapa waktu lalu.


Jalan Gibran mulus. Ia menang telak dengan suara mencapai 86,5 persen.


Belum genap tiga tahun menjadi kepala daerah, kini Gibran berlaga di Pilpres 2024. Ia digandeng oleh Ketua Umum Gerindra yang juga balal calon presiden Prabowo Subianto sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres). Mereka juga sudah resmi mendaftar ke KPU.


Jokowi dan pemimpin instan 


Terpilihnya Gibran menjadi cawapres Prabowo tak terlepas dari posisi Jokowi yang masih menjadi presiden. Partai pengusung Prabowo mayoritas merupakan rekan koalisi Jokowi. Ada Gerindra, Golkar, dan PAN. Hanya Demokrat yang bukan bagian dari koalisi Jokowi.


Prabowo juga didukung partai-partai nonparlamen seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Prima. Terbaru Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kini dipimpin anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ikut menyokong Prabowo-Gibran.


Campur tangan Jokowi sangat kentara dalam duet Prabowo-Gibran. Jokowi terlihat mudah mengendalikan partai koalisi Prabowo, sehingga semua bisa sepakat anaknya maju sebagai bakal cawapres. Patut diingat, Jokowi sendiri yang menyatakan tahu jeroan partai politik hingga arah dukungan di pilpres dari informasi intelijen yang dimilikinya.


Jadi bukan tidak mungkin, berbekal data intelijen tersebut, Jokowi menggalang dukungan partai koalisi Prabowo agar mendukung Gibran maju menjadi cawapres.


Di sisi lain, Prabowo dan koalisinya pasti berharap limpahan suara pendukung Jokowi di Pemilu 2024. Mereka bahkan mengindetifikasi diri sebagai "penerus" Jokowi, sampai menamakan koalisinya, Koalisi Indonesia Maju (KIM). Nama tersebut serupa dengan nama kabinet Jokowi.


Kita lihat Golkar yang memfasilitasi Gibran dengan memberikan rekomendasi sebagai cawapres meskipun anak presiden itu bukan kader partai beringin. Ketum Golkar Airlangga Hartartarto alih-alih mengajukan dirinya atau kader Golkar lainnya malah memberikan tiket tersebut ke Gibran.


Bahkan Airlangga sampai mengaitkan Gibran dengan Sutan Sjahrir yang menjadi Perdana Menteri RI saat usia 36 tahun. Airlangga, saya kira, terlalu berlebihan menyamakan Gibran dan Bung Kecil. Jelas-jelas posisi Sjahrir ketika itu berbeda dengan Gibran hari ini.


Sjahrir kala itu berjuang melawan kolonialisme sampai ia dibuang ke Boven Digul hingga Banda Neira. Gibran kita tahu sendiri, terjun ke dunia politik dengan sejumlah kemewahan yang dimilikinya. Bayangkan baru empat tahun berpolitik, kini ia bisa maju sebagai bakal cawapres.


Majunya Gibran ini mungkin kelanjutan dari rencana penundaan pemilu atau perpanjangan jabatan tiga periode, yang telah ditolak mentah-mentah oleh berbagai pihak. Termasuk oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Jokowi, kata Hasto Kristiyanto, bahkan sempat minta PDIP mendukung wacana tersebut.


Jokowi dan kroni rupanya masih ingin tetap berkuasa.


Gagal pada dua skenario awal, mereka memainkan alternatif lain. Usia Gibran yang belum genap 40 tahun tak menjadi halangan. Muncul berbagai gugatan terkait batas minimal usia capres-cawapres ke Mahkamah Konstitusi (MK).


Beberapa yang menggugat antara lain PSI dan Partai Garuda, yang kini mendukung Prabowo-Gibran. Namun, gugatan mereka ditolak. MK justru menerima permohonan yang diajukan oleh mahasiswa asal Solo, Almas Tsaqibbirru, anak Koordinator MAKI Boyamin Saiman.


MK menyatakan warga negara yang berusia minimal 40 tahun atau yang sedang/pernah menjabat kepala daerah bisa mendaftar sebagai capres-cawapres. Putusan ini menjadi karpet merah bagi Gibran untuk ikut Pilpres 2024. Di sisi lain hujan kritik datang dari pakar hukum tata negara hingga masyarakat sipil.


Beberapa pihak menyoroti posisi Ketua MK Anwar Usman dalam gugatan-gugatan tersebut: Anwar Usman kini berstatus adik ipar Jokowi. Ada dugaan konflik kepentingan di sini. Apalagi keputusan yang dikeluarkan MK, menguntungkan buat Gibran.


Anwar sudah seharusnya tak terlibat sama sekali dalam menangani berbagai permohonan gugatan batas usia capres-cawapres.


Anwar sempat tak ikut dalam rapat putusan beberapa gugatan gelombang awal, namun ia ikut memutus perkara Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuka jalan kepala daerah belum berusia 40 bisa ikut Pilpres.


Tak heran setelah putusan tersebut keluar ada yang memplesetkan kepanjangan MK menjadi 'Mahkamah Keluarga' karena Anwar dianggap membantu keponakannya maju sebagai cawapres. Marwah MK runtuh demi jalan pintas pemimpin instan.


Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam satu acara. (CNN Indonesia/Andry Novelino)


Situasi politik Jokowi jelang Pilpres 2024, bisa jadi mirip-mirip Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004. Mereka, saya kira, menghadapi sosok yang serupa: Megawati Soekarnoputri. Bedanya saat itu SBY sendiri yang maju melawan Megawati dalam Pilpres 2004. Kalau Jokowi sekarang, anak sulungnya yang direstui mengikuti kontestasi.


Sikap Jokowi ini jelas menentang keputusan Megawati yang sudah menduetkan Ganjar-Mahfud MD. Belum diketahui pasti apakah Megawati sudah berkomunikasi atau bertemu setelah Gibran resmi mendampingi Prabowo mendaftar ke KPU.


Relasi Jokowi dengan Megawati yang awalnya saling menguntungkan, kekeluargaan, harmonis, bisa saja seperti hubungan SBY dengan Megawati yang memburuk usai masalah pada 2004 silam. Jika demikian, tak menutup kemungkinan Jokowi dan para loyalisnya terdepak dari PDIP.


Namun sampai saat ini belum terlihat sikap tegas dari PDIP terhadap Gibran maupun Jokowi. Beda nasibnya dengan Budiman Sudjatmiko yang langsung dipecat begitu mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo.


Khusus untuk Gibran, sejumlah elite PDIP hanya menyatakan bahwa Gibran otomatis keluar dari partai banteng karena maju sebagai cawapres dengan partai lain. Sementara Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo meminta Gibran mengembalikan Kartu Tanda Anggota (KTA).


PDIP sepertinya memperhitungkan dampak elektoral pada Pemilu 2024 jika mengambil tindakan tegas kepada Jokowi, Gibran, maupun Bobby Nasution. Nama terakhir adalah menantu Jokowi yang masuk PDIP pada Maret 2020 dan terpilih sebagai Wali Kota Medan.


Mungkin, partai itu khawatir publik justru berempati kepada Jokowi--ketika ada skenario pemecatan terjadi.


Di sisi lain PDIP tentu masih ingin kader-kadernya berada dalam kabinet dan posisi lain di pemerintahan Jokowi. Keberadaan mereka jelas bisa membantu mesin partai bergerak sampai Pemilu 2024. PDIP tak ingin sumber daya hingga berbagai fasilitas yang bisa membantu pemenangan partai hilang begitu saja.


Apakah Megawati bakal memecat Jokowi setelah kasus Gibran maju bersama Prabowo? Lalu apakah mereka akan segera bertemu untuk meredam ketegangan dan berbagai spekulasi yang muncul? Kemudian apakah Megawati mau menerima ajakan bertemu dari Prabowo?


Semua masih belum jelas jawabanya. Namun yang jelas, saya kira, pemimpin instan tampaknya tak seenak mie instan.[SB]

×