Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam aksi represif aparat kepolisian ke
warga Dago Elos Bandung, Jawa Barat, sewaktu membubarkan massa pada Senin
(14/8/2023).
Ketua YLBHI,
Muhammad Isnur mengatakan insiden kerusuhan itu berawal ketika polisi menolak
laporan warga Dago Elos perihal sengketa tanah. Isnur menilai polisi sudah
berbuat di luar kewenangan saat membubarkan aksi penutupan Jalam Dago.
"Kepolisian
merespons dengan sangat buruk ya. Apakah ini tindakan Sat Reskrim yang kita
duga bertindak di luar kewenangan, sewenang-sewenang gitu dan juga Polda Jabar
tentu harus turun tangan memeriksa aparat di level Polrestabes Bandung,"
kata Isnur dihubungi, Selasa (15/8/2023).
Menurut Isnur,
penembakan gas air mata jelas melanggar aturan dalam menangani aksi unjuk rasa.
Terlebih, polisi sampai menyisir pemukiman warga tanpa izin.
"Kepolisian
meresponsnya dengan mengerahkan aparat yang represif yang brutal, gas air mata
dan lain-lain ini tentu menyalahi ketentuan menyalahi SOP kepolisian tentang
upaya dan penggunaan kekuatan dan itu pun kemudian mereka datang ke
kampung-kampung menangkapi tanpa kesalahan dan lain-lain," tutur Isnur.
Oleh sebab itu,
Isnur merasa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengevaluasi anak buahnya
pasca insiden kerusuhan di Dago, Bandung.
"Semakin
banyak catatan buat kapolri jadi pak kapolri harus mengevaluasi secara maksimal
segala tindak tanduk anak buahnya di bawah," imbuhnya.
Kronologi
Kerusuhan
Kerusuhan yang
terjadi di Jalan Dago, Bandung, Jawa Barat diduga berawal karena polisi menolak
laporan pengaduan warga terkait sengketa tanah di kawasan Dago Elos. Salah
seorang polisi disebut bahkan melontarkan kalimat kadar ke warga dan kuasa
hukum di Polrestabes Bandung.
"Tepat
setelah keluar gerbang Polrestabes warga yang didampingi kuasa hukum menerima
tindakan kekerasan verbal oleh salah satu anggota polisi bernama Rustandi.
Warga tersebut diteriaki 'gara-gara kalian jadi begini, anjing!',"
demikian kronologi peristiwa dikutip Tim Advokasi Dago Elos, Selasa
(15/8/2023).
Tak sampai di
situ, salah satu orang warga Dago Elos bahkan diduga dipukul oleh anggota
polisi di depan Polrestabes Bandung. Setelah itu, rombongan warga dan kuasa
hukum memutuskan untuk pulang ke Dago Elos.
Merasa kecewa,
warga melakukan aksi memblokade Jalan Dago. Beberapa saat kemudian, sejumlah
anggota Polda Jawa Barat mendatangi lokasi untuk melakukan negosiasi.
Dalam negosiasi
itu, warga sepakat membubarkan diri dengan syarat laporan terkait sengketa
lahan diterima oleh polisi. Sekitar pukul 22.50 WIB, Senin (14/8/2023),
tepatnya berselang 15 menit usai kesepakatan antara warga dan polisi terdengar
suara tembakan gas air mata dari belakang barisan warga.
"Terjadi
penembakkan gas air mata yang dilontarkan dari arah utara Jalan Dago atau tepat
belakang barisan warga oleh aparat kepolisian menggunakan motor," tutur
Tim Advokasi Dago Elos.
Alhasil pukul
23.05 WIB, kerusuhan pun pecah di lokasi. Polisi diduga juga mengerahkan mobil
water cannon untuk memukul mundur warga.
Warga Dago Elos
kemudian menutup akses polisi di sekitar area pemukiman. Namun polisi tetap
memaksa masuk dan menyisir lokasi.
Dilaporkan
sejumlah warga menjadi korban pemukulan. Selain itu, beberapa orang turut
ditangkap tanpa adanya proses hukum terlebih dulu.
Awal Mula
Sengketa
Sengketa tanah
di Dago Elos dimulai sejak November 2016. Warga yang sudah menahun tinggal di
kawasan dekat apartemen mewah The Maj Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung
terancam digusur setelah pihak keluarga Muller mengklaim sebagai ahli waris di
lahan seluas 6,3 hektare yang melingkupi kawasan pemukiman Dago Elos-Cirapuhan.
Warga yang di
kawasan tersebut pun sempat digugat ke Pengadilan Negeri Bandung oleh empat
orangg keluara Muller dan PT Dago Inti Graha.
Para penggugat
mengklaim memiliki bukti kepemilikan lahan tersebut berupa surat Eigendom
Verponding, surat kepemilikan lahan di era Hindia Belanda yang dimiliki George
Henrik Muller.
Bukti
kepemilikan lahan yang dimiliki generasi keluarga Muller ini pada 1 Agustus
2016 diserahkan kepada PT Dago Inti Graha dengan direktur utamanya, Orie August
Chandra.
Majelis hakim
PN Bandung pada 24 Agustus 2017 memenangkan gugatan kelurga Muller. Warga yang
didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung kemudian naik banding ke tingkat
Pengadilan Tinggi Bandung.
Namun lagi-lagi
di tingkat Pengadilan Tinggi, banding warga ditolak. Warga tak menyerah, di
tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) putusan PN dan Pengadilan Tinggi Bandung
dibatalkan pada 29 Oktober 2019.
Sayangnya, di
tingkat Peninjauan Kembali alias PK di MA, putusan kembali memihak kepada
keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha.
MA dalam
putusan PK nomor 109/PK/Pdt/2022 menyebut para warga yang berjumlah 300 orang
melakukan perbuatan melawan hukum.
Putusan PK MA
ini juga meminta warga untuk angkat kaki dari tempat tinggal yang selama ini
mereka tempati.
“Menghukum para
tergugat (Tergugat I sampai dengan Tergugat CCCXXXV) atau siapa saja yang
memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan dan membongkar bangunan yang
berdiri di atasnya serta menyerahkan tanah objek sengketa tanpa syarat apapun
kepada PT Dago Inti Graha selaku Penggugat IV, bilamana perlu melalui upaya
paksa dengan menggunakan bantuan alat keamanan negara,” tulis PK Mahkamah
Agung.[SB]