Menteri
Keuangan Sri Mulyani curhat selalu disalahkan dalam setiap krisis keuangan.
Padahal, krisis bisa berasal dari para ahli keuangan yang salah hitung.
"Kan
enggak pernah waktu krisis 1997-1998 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) ditanya,
kan enggak juga. Padahal banyak representasi yang salah banget. Waktu krisis
terjadi asuransi bertumbangan, emang pernah yang ditanya profesi akuntan atau
aktuaris, enggak kan? Yang dimarahi menteri keuangan sih sering, yang cuci
piring," ujar Sri Mulyani sembari menunjuk dirinya di Gedung Dhanapala
Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (25/7).
"Konsekuensinya
ada masyarakat yang kehilangan hartanya, ada negara yang harus mengambil dana
publik untuk mem-bailout, ada pihak yang betul-betul harus menanggung kerugian
yang besar, ada segelintir yang menikmati. Di situ letak keadilan dan ketidakadilan,"
imbuhnya.
Ani, sapaan
akrabnya, menyebut ciri seorang profesional adalah mampu mengidentifikasi
tingkat teknikal kompetensi diri dibandingkan dengan kebutuhan ekonomi serta best
practice dunia. Oleh karena itu, ia berpesan agar akuntan, aktuaris, konsultan
perpajakan, dan berbagai profesi keuangan lainnya bisa menempatkan diri dengan
baik.
Namun, ia
kecewa masih banyak orang berlabel profesional yang ternyata sama sekali tidak
kompeten di bidangnya. Pada akhirnya, banyak orang berstatus ahli keuangan yang
tidak menjaga profesionalitas dan integritas.
"Karena
begitu profesi keuangan itu adalah sumber masalah entah karena dia tidak
kompeten, dalam bahasa pergaulan bego atau lebih kasar lagi tolol, tapi
memiliki predikat profesional. Itu bahaya. Sama seperti kita punya mobil, bus,
atau pesawat, tapi yang menyupiri enggak bisa nyupir. Kita semua ada di dalam
bahaya," tutupnya.
Ani mau
profesional keuangan Indonesia tidak hanya bertaji di kancah Asia Tenggara dan
G20, melainkan juga kancah keuangan global. Namun, tetap kudu menjaga
profesionalitas dan integritas.
Adapun ia
menyebut ada tiga krisis keuangan yang dilewati Indonesia dan dunia. Pertama,
krisis moneter 1997-1998 yang mengguncang Indonesia dan Asia Tenggara, di mana
menjadi tonggak sejarah perekonomian tanah air.
Kedua, krisis
keuangan global 2008-2009. Ketiga, krisis keuangan imbas pandemi covid-19 yang
dimulai sejak 2019 lalu.[SB]