Ukraina dan Amerika Serikat (AS) mengklaim Rusia sudah menggunakan senjata terlarang bom klaster selama menginvasi sejak Februari 2022.
Sebanyak lebih dari 100 negara saat ini melarang penggunaan bom klaster. Senjata ini punya daya rusak membabi buta di area luas lantaran terdiri dari banyak bom kecil lain.
Bom klaster tetap berbahaya jika gagal meledak sebab bisa jadi tetap aktif selama puluhan tahun terlantar.
CNN merangkum penyelidikan dan laporan dari pihak Ukraina dan organisasi internasional tentang penggunaan bom klaster oleh Rusia.
Dalam sebuah pernyataan pada 27 Maret 2022, Kantor Kejaksaan Agung Ukraina mengatakan Rusia telah menggunakan bom klaster yang menargetkan sipil di wilayah timur Dnipropetrovsk.
Setelah diselidiki, angkatan bersenjata Rusia dikatakan melakukan penembakan artileri dilarang itu dengan sistem peluncur roket ganda ke pemukiman di distrik Kryvyi Rih di Dnipropetrovsk.
"Rudal itu dilengkapi bom klaster. Selama pemeriksaan di tempat kejadian, petugas penegak hukum dan ahli bahan peledak menemukan dan menyita pecahan roket," kata Kantor Kejaksaan Agung Ukraina.
Dalam pesan di Telegram yang diunggah pada 11 Mei 2023, administrasi militer wilayah Zaporizhzhia mengatakan pasukan Rusia 'menyerang (kota) Malokaterynivka secara besar-besaran dengan beberapa peluncur roket, di mana delapan orang terluka karena bom klaster'. Tiga dari delapan orang itu adalah pekerja ambulans yang merespons panggilan.
CNN menyatakan tak bisa memverifikasi klaim Ukraina ini secara independen.
Sementara menurut laporan dari organisasi internasional, bom klaster sudah digunakan di area sipil di wilayah timur laut Kharkiv. Ini merupakan penyelidikan yang dilakukan CNN sendiri.
Laporan ini mendokumentasikan seorang jenderal Rusia yang mengawasi kekejaman di Suriah memimpin pengeboman klaster di kota terbesar kedua di Ukraina.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi lainnya juga sudah menerbitkan laporan tentang masalah ini.
Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada 30 Maret 2022, kepala Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan hak asasi manusia saat itu, Michelle Bachelet, mengatakan laporan menunjukkan Rusia menggunakan bom klaster di daerah berpenduduk Ukraina 'setidaknya lebih dari 24 kali' sebulan setelah invasi diluncurkan.
Lalu menurut laporan pada 25 Agustus 2022 dari kelompok masyarakat sipil Cluter Munition Monitor yang merupakan rekanan PBB, pasukan Rusia dikatakan sudah 'berulang kali' menggunakan bom klaster sejak awal perang.
Tidak cuma itu, Ukraina juga disebut sudah memakai bom klaster 'beberapa kali' dan 'kebanyakan' di daerah berpenduduk.
Ukraina telah mengakui pemakaian bom klaster sebelumnya dengan mengatakan itu dilakukan untuk mempertahankan wilayahnya dari perang yang dilakukan Rusia.
Setidaknya 215 warga sipil tewas dan 474 orang lainnya terluka secara keseluruhan karena bom klaster selama perang berlangsung.
Pada pekan lalu Ukraina mengklaim telah mendapat pasokan bom klaster dari AS, namun dikatakan belum dipakai. Senjata ini disebut bakal dipakai hanya di wilayah Ukraina dan tak digunakan di Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin sudah merespons pasokan senjata itu dengan mengatakan negaranya punya persediaan bom klaster yang cukup. Putin yang menilai penggunaan bom klaster sebagai kejahatan mengatakan berhak menggunakannya bila diperlukan.
"Saya ingin mencatata bahwa di Federasi Rusia ada persediaan yang cukup dari berbagai jenis bom klaster. Kami belum menggunakannya. Tetapi tentu saja jika digunakan untuk melawan kami, kami berhak mengambil tindakan timbal balik," kata Putin.
Human Rights Watch mengatakan Rusia dan Ukraina telah menggunakan bom klaster. Rusia, Ukraina dan AS disebut belum menandatangani Perjanjian Bom Klaster, yang melarang produksi, penimbunan, penggunaan dan transfer senjata.[SB]