Sejumlah partai politik (Parpol) telah membeberkan nama-nama yang bakal diajukan sebagai calon legislatif (Caleg) pada Pemilu 2024 mendatang.
Sebagian dari mereka resmi mendaftarkan bakal caleg di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Beberapa yang menjadi sorotan adalah masih banyak parpol yang menggaet para artis atau pelaku seniman di Indonesia untuk maju sebagai Caleg. PDIP misalnya mencalonkan petahana seperti Krisdayanti, Rieke Diah Pitaloka, hingga Rano Karno.
Sementara untuk nama-nama baru, ada musisi Once Mekel, pelawak Denny Cagur, budayawan Taufik Hidayat Udjo, Marcel Siahaan, Taufik Hidayat Udjo, Denny Cagur, Tamara Geraldine, hingga Sari Kuswoyo.
Pun Partai NasDem yang juga mengajukan kader artisnya menjadi caleg, di antaranya penyanyi Anisa Bahar dan Reza Artamevia, serta presenter Choki Sitohang. Sejumlah parpol lain yang belum mendaftarkan Bacaleg ke KPU pun sudah memberikan bocoran terkait sejumlah artis yang mereka usung.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai fenomena tersebut menjadi sebuah tren baru yang tujuannya hanya satu, yakni menjadikan para artis sebagai mesin untuk menghasilkan kursi di parlemen.
Para artis yang sudah dikenal oleh masyarakat menjadi poin plus bagi para parpol sebagai kampanye gratis untuk memperkenalkan partai mereka guna memenangkan Pemilu 2024.
"Partai sendiri memang cenderung tak peduli dengan urusan kualitas. Bagi partai, caleg artis adalah mesin untuk membantunya meraih kekuasaan," kata Lucius saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (12/5).
Lucius berpendapat dengan waktu kampanye yang singkat yakni 75 hari, maka parpol memilih jalan paling mudah dengan menggaet sosok yang dikenal dan memiliki hati di masyarakat. Adapun terkait dengan kualitas berpolitik mereka, Lucius menyebut parpol sejatinya tidak meributkan kompetensi tersebut.
Parpol menurutnya tidak ingin repot dan rugi dengan harus memilih para tokoh kompeten namun tidak dikenal masyarakat. Sementara artis dengan popularitas tinggi terbukti lebih mudah memenangkan kontestasi politik.
"Bagi partai yang penting seorang artis bisa menyumbang kursi ketimbang memilih seorang yang kompeten tetapi tak memberikan jaminan perolehan kursi," kata dia.
Meski begitu, kegagalan sejumlah caleg artis di Pemilu Legislatif 2019 juga perlu menjadi renungan bahwa popularitas tak selalu menentukan keterpilihan. Faktor pengenalan wilayah dan frekuensi blusukan menjadi penghambat para artis untuk meraih kursi parlemen.
Namun Lucius menilai parpol memang masih belum 'kapok' dan tetap berupaya mendulang suara-suara yang bakal menguntungkan mereka lewat jalur cepat mengusung artis sebagai caleg.
"Kontestasi pemilu itu, kontestasi untuk merebut kekuasaan. Bukan kontestasi untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Karena itu ya caleg artis memang jadi andalan," ujar Lucius.
Win-win solution
Tak berbeda, Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago menilai fenomena ini menjadi sebuah win-win solution bagi masing-masing pihak. Parpol mendapatkan keuntungan mendapatkan banyak kursi apabila caleg artis menang.
Sementara para artis kemungkinan sudah tidak terlalu menjanjikan untuk melanjutkan karir di dunia hiburan sehingga perlu ada terobosan karir baru, salah satunya menjadi politikus. Arifki juga menilai fenomena ini menjadi tren baru di kalangan artis dalam beberapa tahun belakangan.
"Makanya para artis ini berlomba-lomba bertransformasi menjadi artis yang populer menjadi artis yang caleg. Makanya ini sebuah hal yang cukup menarik dalam fenomena artis yang berkembang pasca reformasi ini," kata Arifki kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/5) malam.
Parpol menurutnya akan menghemat biaya kampanye lantaran artis mampu menggunakan kapasitas dan media platform mereka untuk menggaet suara masyarakat dengan lebih mudah. Pun ditambah waktu kampanye yang tak banyak.
Dengan sistem pemilu proporsional terbuka, menjadi modal bagi parpol untuk meminang caleg artis sebanyak-banyaknya. Arifki pun menilai fenomena ini sangat menarik namun patut juga dikritisi.
"Kalau kita membaca atau kita lihat memang ini perlu dikritisi, karena memang parpol masih gagal menyiapkan kader terbaik untuk caleg, masih bergantung pada caleg yang sudah punya popularitas untuk meringankan beban biaya politik," kata dia.
Pun dengan fenomena ini, banyak para caleg yang sebenarnya memiliki kompetensi dalam berpolitik, namun harus terpinggirkan oleh parpol lantaran mereka dianggap tidak sepopuler caleg dari kalangan artis.
Masyarakat sebagai pemilih lantas diminta untuk tidak mudah memilih caleg hanya berdasarkan 'tampilan luar' saja, melainkan harus cermat memilih caleg lewat kapabilitas dan rencana program kerja yang akan dibawa.
"Makanya ini sebuah fenomena cukup menarik, karena hal ini juga akan sangat merugikan bagi para caleg kompeten yang akan maju," ujar Arifki. [SB]