Angkatan Laut Amerika Serikat jadi bahan bulan-bulanan warganet usai menunjuk waria, Joshua Kelley, untuk menjadi duta kampanye digital mereka.
Kisruh ini bermula usai waria bernama panggung Harpy Daniels direkrut menjadi "duta digital" untuk Angkatan Laut AS tahun lalu. Kelley sendiri sudah bergabung dengan AL sejak 2016.
Kelley direkrut menjadi duta digital untuk menjangkau lebih banyak calon tentara angkatan laut. Peran Kelley ini baru terungkap beberapa hari terakhir dan langsung memicu perdebatan di media sosial.
Produser musik Robby Starbuck yang mencalonkan diri dalam pemilihan pendahuluan Kongres Partai Republik periode 2022, menilai perekrutan Kelley merupakan hal yang "gila."
Menurutnya, militer AS kini tengah krisis karena mulai terpapar isu-isu yang sebelumnya terpinggirkan, seperti LGBTQ+.
"Militer krisis besar perekrutan/retensi karena mereka mulai terpapar isu-isu yang sebelumnya terpinggirkan. Bagaimana mereka mencoba memperbaiki ini? Dengan lebih banyak terpapar," ujar dia, Kamis (4/5).
Sebagaimana dilansir Newsweek, perwakilan Partai Republik Jim Banks dari Indiana juga menyindir perekrutan itu "sama baiknya dengan pemasaran Bud Light."
Bud Light merupakan merek bir yang penjualannya sempat merosot drastis usai bekerja sama dengan influencer transgender Dylan Mulvaney.
Menanggapi ribut-ribut ini, juru bicara Angkatan Laut AS mengatakan bahwa "AL bangga dan berdiri bersama siapa pun yang bersedia bersumpah untuk mempertaruhkan nyawa mereka demi membela bangsa ini."
"Sama seperti negara yang kami layani, Angkatan Laut kami lebih kuat ketika kami memanfaatkan beragam sumber daya, keterampilan, kemampuan, dan bakat kami. Kami tetap berkomitmen terhadap lingkungan yang inklusif," kata jubir AL AS tersebut.
Sementara itu, Kelley juga turut membalas komentar-komentar pedas terhadapnya lewat TikTok.
"Pembenci hanya membenci ketika Anda menang," kata Kelley ketika menanggapi twit Graham Allen, pembawa acara podcast Dear America dan kontributor Turning Point AS.
Dalam twit itu, Allen menuliskan, "Ini bukan militer yang sama dengan yang saya layani di masa lalu. Musuh kita menertawakan kita."
Militer AS selama ini memang sudah menerima keanggotaan LGBTQ+. Namun, mereka dianggap belum mengakomodasi hak-hak LGBTQ+dengan baik.
Laporan Kementerian Pertahanan pada 2016 menunjukkan bahwa 22,8 persen personel yang mengaku LGBTQ+mengalami pelecehan seksual.
Sementara itu, 6,2 persen lainnya yang tak mengaku sebagai LGBTQ+ tak mengalami kejadian serupa. [SB]