Desakan agar
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengundurkan diri dari
jabatannya terus menguat seusai skandal dengan Hanaeni Moein atau Wanita Emas
terkuak. Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) memutuskan Hasyim
melanggar etik dan disanksi berat karena terbukti melakukan percakapan dengan
topik pribadi melalui Whatsapp dengan ketua umum Partai Republik Satu itu.
Peneliti Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, proses pemeriksaan
dan putusan DKPP sudah menunjukkan dengan jelas bahwa Ketua KPU terbukti
melakukan pelanggaran kode etik berupa tindakan tidak profesional dengan
mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ketua KPU juga dinilai mencoreng kredibilitas kelembagaan KPU karena
terkait dengan konflik kepentingan.
“Oleh karena
itu, terlepas dari sanksi yang sudah dijatuhkan DKPP, sebagai ketua lembaga
negara yang sudah diangkat sumpah atas nama Tuhan yang Maha Esa dan menyatakan
akan mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas
kepentingan pribadi, Ketua KPU sudah selayaknya untuk mengundurkan diri dari
keanggotaan KPU,” kata Fajri kepada Republika, di Jakarta, Rabu (5/4/2023).
Dalam hal ini,
PSHK juga mendesak DKPP untuk lebih tegas dan tidak ragu menjatuhkan sanksi
pemberhentian tetap sebagai anggota. Hal ini harus dilakukan jika ada
penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran kode etik, terutama yang
berkaitan dengan tindakan sengaja mendahulukan kepentingan pribadi dan terkait
konflik kepentingan dengan perannya sebagai penyelenggara pemilu.
“DKPP harus
membuat mekanisme perlindungan terhadap korban dan/atau pengadu yang terkait
dengan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu,” kata
Fajri.
DKPP juga didesak
untuk menyiapkan mekanisme pemeriksaan terhadap korban dan/atau pengadu agar
dapat memberikan informasi secara bebas, aman, dan tanpa tekanan. “Sekali lagi,
Ketua KPU Hasyim Asy’ari untuk segera mengundurkan diri dari keanggotaan KPU,”
ujar dia.
Putusan DKPP RI
Nomor 35-PKE-DKPP/II/2023 dan 39-PKE-DKPP/II/2023 memberikan sanksi “peringatan
keras terakhir” kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari. Dia melanggar Pasal 6 Ayat
(3) huruf e dan f juncto Pasal 15 huruf a, d, dan g Peraturan DKPP Nomor 2
Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.
Ketua KPU RI
dinilai melanggar prinsip profesionalisme dengan melakukan komunikasi yang
tidak patut dengan calon peserta pemilu dan mencoreng kehormatan lembaga
penyelenggara pemilu. Namun, menurut PSHK, DKPP tidak tegas dalam penjatuhan
sanksi peringatan keras terhadap ketua KPU.
“Alih-alih
menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota KPU, DKPP justru
melakukan pembiaran terhadap ketua KPU yang sudah terbukti melanggar kode etik.
DKPP seolah tidak menyadari bahwa kredibilitas KPU dipertaruhkan dalam
putusannya, yang akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap lembaga
penyelenggara pemilu dan proses pemilu secara keseluruhan,” kata Fajri.
PSHK menilai
putusan DKPP tidak berperspektif korban dugaan kekerasan seksual. Hal ini
dilihat dari segi proses penanganan kasus pelecehan seksual, DKPP tidak
memiliki skema pelindungan saksi dan korban. Kedua, kata Fajri, DKPP gagal
menghadirkan perspektif korban dalam proses penanganan kasus maupun
pertimbangan hukumnya.
“Ketiga, DKPP
absen menghadirkan pertimbangan relasi kuasa yang sering kali berperan dalam
kasus kekerasan seksual. Di tengah berbagai kekurangan tersebut, DKPP justru
menekankan beban pembuktian kepada korban,” ujar Fajri.
Indonesia
Corruption Watch (ICW) sebagai bagian dari Koalisi Kawal Pemilu Bersih menilai,
Hasyim pantas mundur dari jabatannya karena dua kali berturut-turut terbukti
melanggar kode etik. Apalagi, pelanggaran terakhir terkait skandal Hasyim
dengan ketua umum parpol.
Peneliti ICW
Kurnia Ramadhana menjelaskan sejumlah ketentuan yang menjadi landasan mengapa
Hasyim layak mundur. Pertama, Pasal 21 Ayat (1) huruf d UU Pemilu yang
menyatakan bahwa syarat menjadi anggota KPU RI adalah mempunyai integritas,
berkepribadian yang kuat, jujur, dan adil. Kedua, TAP MPR Nomor VI Tahun 2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menegaskan bahwa penyelenggara negara
harus siap mundur apabila telah melanggar kaidah.
“Dengan
melandaskan dua pelanggaran kode etik yang secara berturut-turut dijatuhkan
kepada Hasyim, telah memenuhi syarat bagi dirinya untuk mengundurkan diri,”
kata Kurnia.
DKPP memang
memutuskan Hasyim melanggar kode etik sebanyak dua kali dalam sepakan terakhir.
Pada Kamis, 30 Maret 2023, DKPP menyatakan Hasyim terbukti melanggar kode etik
karena memprediksi Mahkamah Konstitusi bakal memutuskan pemilihan legislatif
(pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Hasyim dijatuhi
sanksi peringatan.
Empat hari
berselang atau 3 April 2023, DKPP kembali menyatakan Hasyim melanggar kode
etik. Musababnya, Hasyim terbukti pernah bepergian dan kerap berkomunikasi
terkait urusan pribadi dengan Hasnaeni Moein alias Wanita Emas. Mereka berduaan
pergi ke Yogyakarta saat KPU sedang melakukan verifikasi administrasi terhadap
Partai Republik Satu sebagai syarat untuk menjadi peserta Pemilu 2024.
Hasyim enggan
menanggapi putusan DKPP ini. Dia hanya mau memberikan penjelasan kepada awak
media terkait isu pemilu lainnya. Kalau soal itu (sanksi peringatan keras
terakhir), saya tidak komentar. Kalau yang lain, saya mau,” ujar dia seusai
putusan pelanggaran etik dijatuhkan.[SB]