Di Indonesia, rata-rata panjang waktu puasa adalah 13 jam. Lain halnya dengan di Jerman saat musim panas, waktu puasa bisa memakan waktu hingga 18 jam. Pengalaman ini dibagikan Afiza Nurmuseriah yang tinggal di Berlin, Jerman.
Perempuan yang akrab disapa Afiza ini telah tinggal di Jerman lebih dari lima tahun. Pada Ramadan 1444 H ini menjadi tahun kelima ia puasa di Negeri Panzer ini. Kepada detikHikmah, Afiza membagikan pengalaman puasanya.
Puasa Panjang di Eropa
Tahun pertama Afiza menjalani puasa di Jerman adalah tahun 2019 yang bertepatan dengan musim panas. Hal ini tak membuat ia gentar, pengalaman puasa panjang di Eropa justru membuatnya antusias dan penasaran.
"Alhamdulillah waktu pertama kali tiba di Berlin saya "kebagian" puasa yang panjang waktunya, karena kebetulan tahun 2019 itu bulan Ramadan jatuh di Summer. Yang saya rasakan waktu itu sih nggak kaget, justru antusias, karena penasaran ingin merasakan puasa panjang di Eropa itu bagaimana," kata Afiza saat dihubungi detikHikmah melalui pesan elektronik, Minggu (10/4/2023).
Perempuan yang berada di Jerman sebagai tenaga profesional ini menjelaskan dirinya harus puasa selama 18 jam pada sepuluh hari terakhir Ramadan di tahun 2019.
"Imsak sekira jam 2 atau 3 dini hari dan berbuka jam 21.30 malam. Terus Isya hampir jam 23.30, abis sholat Isya, tarawih, terus tahu-tahu sudah sahur lagi haha. Tapi kuat-kuat aja MasyaAllah, Allah yang menguatkan, walau tipikal summer di Eropa kan itu panas yang kering banget begitu ya," terang Afiza.
Di negara yang memiliki 4 musim, panjangnya waktu puasa memang sangat beragam. Berbeda dengan di Indonesia dan negara Asia lain yang panjang waktu puasanya selalu sama yakni rata-rata 13 jam.
Di Jerman, Afiza menyebutkan puasa saat musim panas bisa memakan waktu 18 jam, sementara puasa saat musim dingin hanya berlangsung 8 jam.
"Kalau Summer bisa sampai 18 jam, musim dingin bisa hanya 8 jam dan kalau musim peralihan seperti autumn atau spring yang sekarang lagi berjalan waktunya hampir-hampir sama dengan Indonesia, imsak di jam 4 dan Maghrib di jam 18 atau 19," lanjut Afiza.
Menjadi hal yang manusiawi tatkala tubuh merasa lemah saat menahan haus dan lapar selama belasan jam. Hal ini juga dialami Afiza saat aktivitasnya sedang padat.
"Rasa lapar dan haus itu juga tergantung aktivitas, kalau lagi berat sebenarnya kalau saya lebih ke suka nge-blank gitu dan kepala terasa 'ngebul' kalau lagi kerja jadi enggak bisa mikir haha. Kalau haus itu justru kalau lagi tiba-tiba membayangkan takjil-takjil Indonesia, es buah, es kelapa muda, es teler dan teman-temannya hahaha," tambah Afiza diikuti tawa.
Dukungan Masyarakat Eropa Bagi Muslim yang Puasa
Di Indonesia, Ramadan selalu disambut meriah penuh suka cita oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Kaum muslim pun bisa dengan khusyuk menjalani puasa karena lingkungan yang mendukung. Bagaimana di Jerman?
Tahun demi tahun dijalani Afiza jauh dari Tanah Air. Ia bisa melihat seperti apa dukungan yang diberikan masyarakat dan pemerintah di Jerman bagi muslim di bulan Ramadan.
Melansir data dari laman resmi Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Senin (10/4/2023) mayoritas masyarakat Jerman menganut agama Kristen dengan persentase 42,9% Katolik Roma; 40,7% Protestan; 6,4% Yahudi, sementara 2,8% lainnya memeluk agama lain, termasuk Islam. Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di Jerman, masyarakat muslim termasuk minoritas.
"Kalau tahun ini agaknya menurut saya secara umum masyarakat Eropa sudah mulai friendly dengan bulan Ramadan. Khususnya di Jerman, Alhamdulillah Presiden dan Perdana Menteri mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa di akun resmi sosial media mereka," kata Afiza.
Lebih lanjut, Afiza menjelaskan di lingkungan sekitar tempatnya tinggal dan bekerja juga mendukung dirinya dan muslim lain berpuasa. Hal seperti ini terkesan sederhana tapi justru dianggap sebagai dukungan yang cukup berarti.
"Di lingkungan kerja saya sendiri, kolega-kolega saya baik itu dari Jerman atau dari negara-negara non muslim lainnya, mereka paham konsep Ramadan, mereka cukup menghargai. Dari sini, lebih kurang saya merasa didukung kendati hanya minoritas," ujarnya.
Menjalani puasa lima tahun jauh dari Tanah Air menjadikan Afiza mengantongi pengalaman berharga dalam hidupnya. Meskipun tidak semeriah di Indonesia, tapi hal ini justru menjadikan ia bisa lebih bersyukur.
"Momen menunaikan ibadah di bulan suci Ramadan di negeri perantauan dan menjadi minoritas justru menjadi titik balik spiritualitas saya. Dengan segala kesederhanaan, keterbatasan dan suasana yang kurang mendukung, saya memaknai betul Ramadan itu seperti madrasah untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti booster iman untuk setahun ke depan sampai bertemu Ramadan kembali, InsyaAllah," tutup Afiza.
Simak Video "Kurma Episode 11: Eh, Lagi Puasa Kok Menelan Ludah Terus-terusan"[SB]