Sejumlah
wilayah di Indonesia akan mengalami paradoks cuaca di pertengahan tahun ini.
Selain musim kemarau, ada badai yang berpotensi terjadi di beberapa tempat.
Sebelumnya,
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut awal musim
kemarau akan terjadi lebih awal pada April di sejumlah wilayah tertentu.
"Kita
simpulkan dari prakiraan musim kemarau ini umumnya akan tiba lebih awal
dibandingkan biasanya," ujar Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, dalam
konferensi pers daring, Senin (6/3).
"Dari
total 699 zona musim di Indonesia sebanyak 119 zona musim atau 17 persen
diprediksi memasuki musim kemarau pada bulan April 2023 yaitu di Nusa Tenggara,
Bali, dan sebagian Jawa Timur," imbuhnya.
Dwikorita
mengatakan, awal musim kemarau ini berkaitan dengan peralihan angin monsun
Asia. Angin ini beralih menjadi angin timuran yang bertiup dari benua Australia
ke benua Australia.
"Angin
musim kemarau ini diawali dengan bertiupnya angin dari arah Benua Australia
yang akan dimulai dari wilayah Nusa Tenggara dan Bali pada bulan April
2023," tuturnya.
Usai Nusa
Tenggara, Bali, dan sebagian Jawa Timur, dia menyebut musim kemarau akan
terjadi di 156 zona musim atau 22,3 persen wilayah tanah air pada Mei.
Beberapa
wilayah yang mengalami awal kemarau pada Mei ini adalah sebagian besar Jawa
Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian
Pulau Sumatera bagian selatan, dam Papua bagian selatan.
Sementara,
daerah yang baru memulai kemarau pada Mei adalah Jakarta, sebagian kecil Pulau
Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian
besar Riau, sebagian besar Sumatera Barat, dan sebagian Pulau Kalimantan bagian
utara.
Terjadinya
Gelombang Tinggi
Meski di tengah
musim kemarau, beberapa wilayah lain di Indonesia justru berpotensi dilanda
cuaca buruk seperti gelombang tinggi.
Hal itu
disebabkan dua bibit siklon tropis yang terbentuk masing-masing di Laut Natuna
dan Australia.
Bibit Siklon
97S terbentuk di Teluk Carpentaria, Australia tepatnya di posisi 16.4LS,
137.9BT yang mulai tumbuh pada tanggal 05 Maret 2023 jam 01.00 WIB"
Hasil
pemantauan BMKG menunjukkan, kecepatan maksimum bibit siklon tersebut di
sekitar sistemnya mencapai 20 knot dengan tekanan udara di pusatnya mencapai
1006 mb.
Lebih lanjut,
ada Bibit Siklon Tropis 98S yang terbentuk di Laut Natuna. BMKG menyebut
kecepatan angin maksimum di sekitar sistemnya mencapai 20 knots (37 km/jam) dan
tekanan udara di pusatnya mencapai 1009 mb dengan pergerakan sistem perlahan ke
arah Barat.
Berikut daftar
wilayah yang berpotensi dilanda gelombang tinggi dan angin kencang karena dua
Bibit Siklon tersebut.
- Potensi angin
kencang lebih dari 25 knots (46 km/jam) di wilayah Maluku dan Papua.
- Tinggi Gelombang
1.25 - 2.5 meter di Laut Banda, Perairan selatan P. Seram, Laut Seram, Perairan
Kep. Sermata hingga Kep. Tanimbar, Perairan Kep. Kai hingga Kep. Aru, Laut
Arafuru bagian barat, Perairan Sorong, Perairan Fak-fak, Perairan Kaimana, dan
Perairan Amamapare - Agats.
- Tinggi
Gelombang 2.5 - 4.0 meter di Laut Arafuru bagian tengah hingga selatan Merauke
dan Laut Arafuru timur Kep. Aru.
- Potensi hujan
dengan intensitas sedang hingga lebat di wilayah Kep. Riau, Jambi, Kep. Bangka
Belitung, dan Kalimantan Barat.
- Potensi angin
kencang lebih dari 25 knots (46 km/jam) di wilayah Kep. Riau.
- Tinggi
Gelombang 1.25 - 2.5 meter di Perairan timur Kep. Lingga, Perairan utara P.
Bangka Belitung, Selat Gelasa, dan Selat Karimata bagian selatan.
- Tinggi
Gelombang 2.5 - 4.0 meter di Perairan Kep. Anambas, Perairan Kep. Natuna bagian
barat dan selatan, Perairan Kep. Subi hingga Serasan, Laut Natuna, Perairan
Kep. Bintan, Selat Karimata bagian utara, dan Perairan Kep. Karimata.
- Tinggi
Gelombang 4.0 - 6.0 meter di Laut Natuna Utara dan Perairan Kep. Natuna bagian
utara.
Dampak
Perubahan Iklim?
Terjadinya dua
fenomena yang 'bertentangan' itu disinyalir akibat perubahan iklim. Sebelumnya,
para pakar mengungkap Bumi makin panas akibat peningkatan kadar gas rumah kaca
(karbon dioksida, nitrogen dioksida, metana, dan freon) di atmosfer.
Gas-gas ini
prinsipnya memerangkap panas Matahari agar tak memantul ke luar angkasa. Dalam
kondisi lingkungan normal, keberadaan gas ini diperlukan untuk membuat Bumi
hangat.
Saat kadarnya
berlebih, terutama akibat emisi karbon dari kendaraan bermotor dan industri,
gas-gas ini memicu peningkatan panas secara global hingga memicu perubahan
iklim.
Efeknya adalah
siklus hidrologi yang berubah yang membuat cuaca lebih ekstrem, musim hujan
makin basah, musim kemarau makin kering, serta bencana alam makin banyak.
Peneliti Ahli
Madya di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Didi Satiadi menganalogikan situasi ini dengan motor yang putarannya makin
cepat.
"Jadi
mesinnya cuaca adalah dari Matahari, pemanasan. Kalau pemanasannya ini
bertambah karena gas rumah kaca tadi, maka siklus hidrologi yang seperti rantai
tadi akan berputar lebih cepat," ujar dia, dalam acara Bincang Sains
bertajuk 'Waspada Cuaca Ekstrem' secara virtual, Rabu (28/12/2022).
"Karena
berputar lebih cepat, artinya lebih cepat terjadi penguapan, lebih intens,
lebih deras hujannya, jadi lebih basah sekaligus lebih kering," tutupnya.