Partai Demokrat
dan PDIP saling sentil soal sistem pemilu yang kini tengah diuji di Mahkamah
Konstitusi (MK). Kedua partai berseberangan dalam menanggapi isu ini.
PDIP mendukung
penerapan kembali sistem proporsional tertutup atau coblos partai. Sedangkan
Demokrat menolak sistem itu kembali hadir di Pemilu 2024.
Perdebatan ini
bermula saat Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) mempertanyakan alasan mengubah sistem pemilu di tengah proses Pemilu 2024
yang sudah berjalan.
Menurut SBY,
tidak ada situasi kegentingan yang memaksa hingga harus mengubah sistem pemilu
di pertengahan jalan.
"Tepatkah
di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu,
utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan
yang sangat fundamental dilakukan perubahan?" tulis SBY dalam sebuah
catatan, dikutip dari laman Facebook resmi SBY, Minggu (19/2).
SBY juga
menyoal perubahan ini dilakukan melalui mekanisme judicial review (JR).
Menurutnya, pengubahan sistem Pemilu sah-sah saja dilakukan, asalkan melalui
musyawarah. Dengan begitu, rakyat dilibatkan di dalam prosesnya.
"Mengubah
sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa "tenang", bagus
jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan
judical review ke MK," kata dia.
PDIP sebut SBY
lupa
Merespons
pernyataan SBY, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyindir SBY
seolah-olah lupa bahwa sistem pemilu diubah pada masa kepemimpinannya.
Hasto
mengungkit perubahan pada 2008 itu dilakukan melalui JR oleh beberapa kader
Demokrat dan bukan musyawarah.
"Pak SBY
kan tidak memahami 'Jas Merah'. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun
2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang
melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui
mekanisme judicial review," kata Hasto kepada wartawan di Kabupaten Lebak,
Banten, Minggu (19/2).
Hasto menuding
Demokrat kala itu memang sengaja mengubahnya demi mendongkrak perolehan suara
partai.
Hasto menyebut
Demokrat juga mengganti sistem Pemilu sesaat sebelum hari pencoblosan, di mana
seharusnya tidak lagi ada perubahan.
"Itu hanya
beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang pemilu yang seharusnya tidak boleh
ada perubahan, ternyata itu kan ditempatkan sebagai bagian dari suatu strategi
kemenangan jangka pendek, sehingga dengan melakukan segala cara akhirnya Partai
Demokrat mengalami kenaikan 300 persen," kata Hasto.
Sekjen PDI
Perjuangan Hasto Kristianto di DPP PDIP, Jakarta. Rabu (19/2/2020). (CNN
Indonesia/Andry Novelino)
Demokrat bantah
Hasto
Deputi Bappilu
DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani membantah pernyataan Hasto dan menyebutnya
telah membuat pernyataan yang menyesatkan.
"Tuduhan
Bung Hasto bahwa karena perubahan sistem pemilu tersebut Partai Demokrat
memperoleh kenaikan hampir 300 persen. Pernyataan itu tak hanya keliru namun
juga menyesatkan," kata Kamhar dalam keterangannya, Minggu (19/2).
Kamhar
mengklaim kenaikan suara itu lantaran rakyat yang masih menghendaki SBY
memimpin untuk periode kedua.
Ia pun
menjelaskan, Demokrat menghendaki proporsional terbuka lantaran menurutnya itu
adalah sistem yang paling demokratis. Pasalnya, rakyat secara penuh dapat
menentukan para wakilnya di parlemen.
Kamhar menyindir
Hasto kurang paham akan demokrasi. Ia meminta Hasto untuk mempelajari lebih
dalam soal itu.
Ia pun
menyindir partai politik hanyalah instrumen untuk melayani kedaulatan rakyat
dan bukan sebaliknya.
"Bung
Hasto harus lebih banyak belajar tentang demokrasi. Intisari demokrasi adalah
kedaulatan rakyat, Parpol salah satu pilar demokrasi menjadi alat untuk
melayani kedaulatan rakyat. Bukan sebaliknya," kata Kamhar.[SB]