Joko Widodo (Jokowi) pernah berjanji bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal meroket 7 persen pada awal kampanye 2014 silam, namun hingga tahun ke-8 pemerintahannya janji manis tersebut tak pernah tercapai.
Bahkan pada
laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia sepanjang tahun
2022 tumbuh 5,31 persen, angka yang selalu stagnan dan rata-rata dilevel 5
persenan.
Direktur Center
of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pun punya analisanya
sendiri terkait kenapa ekonomi Indonesia selalu di level 5 persen di era
Pemerintah Presiden Jokowi.
Dia bilang ada
sejumlah masalah yang harus terlebih dahulu diselesaikan Presiden Jokowi
sebelum bercita-cita mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
"Pertama,
pemerintahan Jokowi dari segi anggaran cenderung boros terutama untuk belanja
pegawai dan barang, sehingga birokrasinya yang dipergemuk dan ini akan
mempersempit ruang fiskal untuk stimulus kepada sektor-sektor usaha yang
produktif termasuk juga kepada UMKM," kata Bhima saat dihubungi suara.com
Rabu (8/2/2023).
Masalah kedua
kata Bhima adalah soal birokrasi yang masih berbelit hingga tingkat korupsi
yang memburuk, hal tersebut ditunjukan dari indeks persepsi korupsi yang
cenderung meningkat di era Presiden Jokowi.
"Kondisi
ini membuat komitmen investasi, komitmen pengusaha tidak terlaksana karena
adanya biaya-biaya 'siluman' yang mahal," katanya.
Ketiga,
Pemerintahan Jokowi cenderung mengandalkan utang untuk pembangunan, sementara
ada konsep debt overhang atau jumlah utang yang terlalu besar tapi tidak
diimbangin dengan kemampuan bayar.
"Itu akan
mengakibatkan adanya kontraksi terhadap pertumbuhan ekonomi jadi utang itu
bukan leverage, tapi utang justru jadi beban untuk pertumbuhan yang lebih
tinggi," katanya.
Keempat,
kegagalan pembangunan Sumber Daya Alam (SDM), jika ingin pertumbuhan yang lebih
tinggi seharusnya pengelolaan SDM harus dikelola dengan bai.
"Saat ini
dari sektor SDM mulai dari angka stunting masih sangat banyak, bayi-bayi yang
gagal tumbuh karena kurang gizi," paparnya.
Begitu juga
dengan sektor pendidikan yang hingga saat ini perannya kurang optimal dalam
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, akibatnya ada skill gap yang sangat lebar di
Indonesia. "Nah skill gap ini juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,"
katanya.
Terakhir kata
Bhima, Indonesia lagi-lagi terlalu mengandalkan sektor komoditas dimana jika
terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi ketika boom comodity sifatnya hanya
sementara atau temporer.
"Jika
pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi itu hanya temporer karena kenaikan harga
komoditas dan bukan karena ada nilai tambah yang dihasilkan," ucapnya.
Kalau terus bergantung pada komoditas tidak mungkin kata Bhima Indonesia bisa mengalami 'Penyakit Belanda' atau 'Dutch Deases', kondisi dimana suatu negara terlalu bergantung dengan komoditas seperti pertambangan sehingga lupa membangun industri manufaktur.[sb]