Kriminolog UI, Adrianus Eliasta Meliala, menilai hukuman 1 tahun dan 6 bulan bagi Richard Eliezer terlalu rendah. Hukuman itu tidak pantas bagi seorang pembunuh.
Adrianus menilai vonis yang dijatuhkan majelis hakim di luar dugaan. Beda langit-bumi dengan tuntutan jaksa yang menuntut 12 tahun penjara untuk Eliezer yang dinilai sebagai eksekutor kematian Brigadir Yosua.
"Ya bagi saya memang terlalu rendah ya. Saya tentu mengharapkan dan juga saya kira semua orang mengharapkan agar yang bersangkutan tidak dipidana 12 tahun," Adrianus kepada wartawan, Kamis (16/2).
"Nah, saya menduga misalnya ada pengurangan hingga 8 tahun lah, tapi begitu kemudian menjadi 1,5 tahun itu tentu jelas jelas di luar dugaan karena tentu dalam hal ini, cara pikir yang diambil tentu beda betul," sambung dia.
Putusan ini dinilai berbeda jauh dengan logika hukum jaksa dalam tuntutan. Jaksa, kata Adrianus, menilai bagaimanapun, Eliezer adalah pembunuh. Terlebih dilakukan dengan terencana.
Sehingga, Adrianus berpendapat bahwa hukuman terhadap Eliezer, bukan hal yang pantas bagi seorang pembunuh.
"Bayangkan anakronisnya ketimpangannya atau paradoksnya antara putusan hakim bahwa yang bersangkutan terbukti dengan sadar meyakinkan terlibat dalam pembunuhan berencana tapi hukumannya tidak demikian," kata dia.
"Tapi kemudian hukumannya tidak mencerminkan bahwa dia adalah orang yang ikut serta dalam rangka pembunuhan berencana," lanjutnya.
Bagi Adrianus, vonis rendah Eliezer ini memperlihatkan perbedaan tajam dengan terdakwa lain. Ia membandingkannya dengan Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal yang divonis masing-masing 15 tahun dan 13 tahun penjara. Padahal, keduanya menyentuh senjata saja tidak.
"Jadi begini, lebih aneh lagi karena tadi terlalu rendahnya. Ya, kalau 1,5 tahun bagi pembunuh, nah sementara Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal tidak pegang pun tidak, kan gitu, (senjata). Pegang pun tidak, masa kena 13 tahun ya," katanya.
"Jadi bingung saya, karena tadi terlalu rendahnya putusan ini. Kalau tadi putusannya misalnya 8 tahun saya kira orang masih masih bisa nerima," ungkap Adrianus.
Bila pun pertimbangannya karena Eliezer sebagai justice collaborator (JC), hukuman yang diberikan dinilai juga tidak seharusnya serendah itu. Kata Adrianus, di undang-undang, JC itu diatur diberikan penghargaan dengan vonis lebih rendah. Meskipun, dia mengakui, vonis tersebut berada pada ranah hakim.
"Kata undang-undang hanya satu: Lebih rendah, ya, lebih rendah. Tapi lebih rendahnya seperti apa tentu itu berada dalam ranah hakim. Cuma saya kira enggak ada yang berpikir bahwa rendahnya itu sampai ke angka 1,5 tahun. Saya kira enggak ya," kata dia.
Menurutnya, 1,5 tahun penjara itu termasuk hukuman yang nanggung. Dianggap sebagai hukuman pembunuhan terlalu ringan, disebut hukuman pembunuhan berencana apa lagi.
"Tapi kalau dibilang hukumannya melanggar, apa mengikuti perintah atasan yang salah, terlalu berat," katanya.
"Pengurangan berdasarkan pada status dia sebagai JC maka 20 tahun dikurangi 8 tahun jadilah 12 tahun, gitu," kata dia, menilai vonis yang layak untuk Eliezer.
Dia menilai hukuman terhadap Eliezer adalah suatu hal anomali.
"Jadi saya kira itu adalah suatu angka yang agak anomali ya yang saya kira dapat diserahkan pada hakim saja, gitu," sambungnya.
Pendapat berbeda diungkapkan Abdul Ficar Hadjar seorang pakar hukum Universitas Trisakti. Bagi dia, putusan 1,5 tahun untuk Eliezer sudah tepat dan penghormatan terhadap seorang JC.
"Ini sebuah keputusan yang sudah pada tracknya. Menghormati UU Perlindungan Saksi Korban, yang mengatur tenang apresiasi terhadap JC. Kepercayaan terhadap penegakan hukum akan meningkat dengan lahirnya vonis ini," kata Ficar dalam keterangan terpisah.
Menurut Ficar, penghargaan terhadap JC adalah perintah UU. Lembaga yang tidak menghargai JC, dinilai oleh Ficar sama dengan melanggar UU. JC bagian dari mekanisme penegakan hukum.
"Karena itu ia harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penegakan hukum secara keseluruhan utamanya hukum pidana," ungkapnya.
Ficar menyebut semestinya jaksa tidak melakukan banding atas vonis yang dijatuhkan Eliezer.
"Ya, mestinya JPU tidak banding, karena memang putusan ini sudah memenuhi rasa keadilan, karena itu sebaiknya JPU tidak banding. Lagi pula untuk Terdakwa lainnya sudah sesuai bahkan melebihi tuntutan, karenanya Jaksa Agung juga bisa mengambil pelajaran dari kasus ini," imbuhnya.
Soal hukuman Eliezer, di mana sebagai seorang eksekutor penembakan Yosua, hukumannya jauh sekali dibandingkan dengan Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal. Ficar menyatakan hal itu sepenuhnya kewenangan hakim.
"Hakim menerapkan semangat Pasal 51 KUHP (tentang perintah jabatan yang tidak dipidana) di mana seharusnya RE [Richard Eliezer] dilepaskan atau tidak dipidana. Tetapi karena perbuatannya terbukti walaupun bukan atas kehendaknya maka RE tetap dihukum meskipun ringan," pungkasnya.
Dalam perkaranya, Eliezer terbukti terlibat dalam pembunuhan Brigadir Yosua bersama-sama Sambo dkk. Namun, ia divonis paling rendah di antara kelima terdakwa. Eliezer dijatuhi 1 tahun 6 bulan penjara.[SB]