Jagat media
sosial (medsos) Twitter ramai unggahan dosen salah satu perguruan tinggi asal
Bantul yang mencurahkan hati (curhat) masalah anaknya. Dalam threat akun
@bambangwn, Bambang W Nugroho menceritakan kepedihan puterinya yang
"dibunuh" cita-citanya oleh guru saat berada di kelas VIII salah satu
sekolah.
Dalam curhatan
yang kemudian viral dan banyak dikomentari warganet tersebut, Bambang
menceritakan betapa perlakuan guru yang mencibir cita-cita sang anak sebagai
penyanyi mengubah masa depan dan mental puterinya. Anaknya sampai harus
menjalani terapi ke psikiater selama setahun karena menderita halusinasi akibat
tekanan mental yang luar biasa.
"Saya baru
tahu cita-cita anak saya "dibunuh" gurunya justru saat dia sembuh
dari terapi beberapa bulan lalu,"ujar Bambang saat dikonfirmasi, Kamis
(23/02/2023).
Saat kelas VIII
di salah satu SMP pada 2010 lalu, menurut Bambang, dirinya ditanya gurunya
ingin menjadi apa saat dewasa, sang puteri yang sejak kecil suka sekali
menyanyi dan ikut berbagai perlombaan dengan lantang menyatakan ingin penyanyi.
Alih-alih didukung, guru tersebut justru mempertanyakan keinginan muridnya
tersebut.
Guru tersebut
meminta puteri Bambang untuk memiliki cita-cita seperti teman-teman sekelasnya
yang ingin menjadi dokter, guru, polisi dan pilot. Kaget dengan permintaan itu,
sang puteri dengan lirih meralat cita-citanya menjadi dokter.
Sejak
perbincangan itu, puteri Bambang tidak pernah lagi mau bernyanyi dan bermain
musik dan pentas. Puterinya yang biasanya belajar musik di studio pribadi
bersama guru musik pun tak lagi mau memasukinya.
Bambang saat
itu hanya berpikir mungkin dia hanya diminta belajar alat musik yang tak dikuasainya.
Namun hilangnya minat puterinya untuk bermain musik berlanjut hingga SMA. Dia
ngotot masuk kelas IPA demi bisa masuk Fakultas Kedokteran. Keluarga pun
berpikir dia hanya ingin mengubah orientasi masa depannya.
Bahkan saat
masuk ke perguruan tinggi, puterinya tersebut hanya memilih jurusan Kedokteran,
bukan lainnya. Tak diterima di kampus negeri, puteri Bambang berjuang keras
selama tiga kali mengikuti ujian masuk, akhirnya dia diterima Fakultas
Kedokteran di salah satu kampus swasta.
Namun seiring waktu
itu, sifat puterinya yang periang, komunikatif, sopan berubah total. Menjadi
penyendiri dan terasing, selama tiga tahun kuliah, dia menjadi sosok yang
pemarah, pemberontak, tidak pernah mau kalah dan sering bersitegang dengan
keluarganya.
"Hubungan
kami memburuk, termasuk pada kakak dan adiknya. Saat berantem, dia selalu
ngotot dan rasional dan merasa paling benar. Bahkan menggunakan teori-teori dan
grafik untuk membantah kami dan mempertanyakan kami tahu apa, tapi tulisannya
tidak masuk akal semua. Ini berbeda sekali dengan puteri kami yang dulu. Dia
keras hanya pada kami, tapi pada orang lain tetap santun," paparnya.
Kondisi mental
puterinya semakin memburuk saat semester akhir. Kurang tidur karena beban
kuliah yang tak disukainya, dia sering terlihat mengalami gangguan halusinasi
setiap malam. Dia tak bisa lagi mengeluarkan suaranya yang indah saat menyanyi.
Merasa kondisi
kesehatan mental anaknya terganggu, akhirnya saat sang puteri diperiksakan ke
psikiater. Dugaan mereka benar, terjadi ketidakseimbangan hormonal dalam tubuh
puterinya.
Diminta
perawatan terapi selama setahun oleh psikiater, puternya pun menunda untuk ikut
KoAs. Perawatan itu membuat fisik sang anak yang melemah dan daya pikirnya
melambat akibat efek samping obat yang diminum.
Namun puterinya
bisa kembali tenang setelah beberapa bulan mengikuti terapi. Dia mulai mau lagi
menyanyi dan belajar musik dan bisa menyelesaikan Koas atau program profesi di
Fakultas Kedokteran.
"Saat
mulai sembuh itu, dia baru cerita kalau mendapatkan perlakuan buruk dari guru
di smp. Dia yang ingin jadi penyanyi dipatahkan cita-citanya oleh guru, barulah
masalah ini terungkap," paparnya.
Tak ingin
puterinya kembali bermasalah, Bambang pun akhirnya menanyakan keinginan
puterinya. Dengan lantang, puterinya tidak lagi berminat jadi dokter dan ingin
kembali bermusik.
Mendengar itu,
Bambang pun membuat surat pernyataan pengunduran diri anaknya dari program
profesi Kedokteran. Puterinya dibebaskan untuk melanjutkan pendidikan dimanapun
sesuai keinginannya.
"Puteri
saya kan sudah dapat ijasah sarjana kedokteran. Ya sudah karena tidak ingin
meneruskan koas untuk jadi dokter, dia bisa lanjut pendidikannya kemana saja.
Sekarang sudah bisa menyanyi yang merupakan hobinya yang lama. Ini yang
melegakan kami," ungkapnya.
Bambang
berharap pengalaman puterinya itu bisa jadi pembelajaran semua pihak. Melalui
threat di Twitter yang akhirnya membuka kasus-kasus serupa dari sejumlah
warganet, Bambang berharap ada perubahan dari cara mendidik guru.
Dari kasus itu
ternyata bisa diketahui ada masalah dalam pendidikan guru atau tenaga pendidik.
Guru sebagai pendidik tidak tuntas dalam belajar, banyak diantara mereka yang
hanya medioker yang merasa kebenaran mutlak ada padanya dan bukan yang
benar-benar berbakat dan berminat menjadi tenaga pendidik dan terampil mendidik
murid, termasuk menguasai psikologi perkembangan dan lainnya.
"Ini
banyak sekali terjadi, terutama di masa rentan smp karena guru hanya jadi
medioker. Banyak guru yang bangga muridnya hanya pinter matematika tapi tidak
pintar antri. Ada guru yang tidak mengajarkan [siswa] mereka mau saling
menghargai dan meningkatkan toleransi. Malah mereka dididik untuk
menjelek-jelekkan dengan kebiasaan yang dianggap aneh. Itu yang perlu harus
dirombak," imbuhnya.[SB]