Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut perubahan iklim memicu
gangguan terhadap siklus hidrologi dan membuat krisis air kian menjadi ancaman
serius bagi semua negara.
"Krisis
air terjadi hampir di seluruh belahan dunia dan menjadi krisis global yang
harus diantisipasi setiap negara. Tidak peduli itu negara maju atau
berkembang," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan
resminya, Sabtu (18/2) dikutip dari Antara.
Ia menuturkan
peningkatan emisi gas rumah kaca akan berdampak pada peningkatan laju kenaikan
suhu udara serta berdampak pada fenomena perubahan iklim.
Emisi gas rumah
kaca yang tidak bisa dikendalikan, kata dia, memicu semakin cepatnya proses
penguapan air permukaan. Hal ini mengakibatkan ketersediaan air semakin cepat
berkurang.
"Sebaliknya,
akan terjadi hujan yang berlebihan di lokasi atau belahan bumi yang lain."
Dwikorita
menyatakan pengurangan stok air itu berlaku bagi air permukaan maupun di tanah.
Hal ini jelas mempengaruhi ketersediaan air bersih di seluruh dunia.
"Ditambah
perubahan iklim yang ekstrem menyebabkan proses turunnya hujan menjadi ekstrem
dan tidak merata," lanjut dia.
Jika krisis air
dan kondisi iklim ekstrem terus berlanjut, ia risau ini akan berdampak pada
krisis pangan di dunia.
Apa buktinya?
Organisasi
Meteorologi Dunia (WMO) pada 2022 melaporkan kekeringan dan kelangkaan air
melanda Eropa, Amerika sebelah utara dan barat, Amerika selatan barat, kawasan
Mediterania, dan Sahel (zona perbatasan antara Gurun Sahara dengan daerah
sebelah utara Afrika yang lebih subur).
Selain itu,
Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Timur, Asia
Selatan, dan Australia Tenggara.
"Tapi pada
saat yang sama, banjir juga terjadi Easton Sahil, Pakistan, Indonesia, hingga
Australia Timur. Jadi, sekali lagi kekeringan dan banjir adalah dampak yang
sama akibat dari dari kencang-nya laju perubahan iklim yang diperparah dengan
kerusakan lingkungan," tukas Dwikorita.
Menurutnya,
perubahan iklim turut memicu munculnya kejadian-kejadian ekstrem terutama
kekeringan dan banjir.
Jika sebelumnya
rentang waktu kejadian berkisar 50-100 tahun, saat ini rentang waktu menjadi
semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas atau
durasi yang semakin panjang.
Oleh karenanya,
ia meminta semua negara untuk memitigasi dan mengurangi peningkatan dampak
serius dari perubahan iklim tersebut. Salah satunya melalui World Water Forum
2024 yang akan digelar di Bali.
"Situasi
Bumi saat ini menjadi alarm serius bagi kita semua. Kita perlu bekerja sama,
berpikir bersama, dan memecahkan masalah bersama," tandas dia.
Sebelumnya,
BMKG memperingatkan soal kedatangan kemarau kering di RI akibat kepergian La
Nina dan kedatangan El Nino. Musim itu akan dimulai di sebagai kecil wilayah
pada Maret.[SB]