Banyaknya
personel Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum menyerahkan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK menunjukkan kegagalan kementerian
yang dinakhodai Sri Mulyani Indrawati. Tercatat ada 13.885 pejabat dan pegawai
Kemenkeu belum lapor.
Demikian
disampaikan Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies),
Anthony Budiawan, melalui keterangan tertulisnya, Selasa (28/2).
“Faktanya, ada
pejabat pajak hidup mewah, mungkin tidak sesuai pendapatannya, sehingga patut
diduga dari korupsi. Masih ada 13 ribu lebih pegawai pajak belum mengisi
laporan hartanya (LHKPN), ada apa?” Anthony balik bertanya.
Menurutnya,
pajak merupakan sumber pendapatan utama pemerintah, diperoleh dengan cara
paksa, melalui undang-undang. Di sisi lain, penerimaan pajak akan digunakan
untuk kepentingan masyarakat luas, meningkatkan kesejahteraan, mencerdaskan
bangsa, menjaga kesehatan publik, dan lainnya. Intinya, pajak itu hak rakyat,
digunakan untuk kepentingan masyarakat.
“Karena itu,
penerimaan pajak harus diawasi ketat, tidak boleh ada kebocoran, tidak boleh
dikorupsi,” tegasnya.
Ekonom senior
itu juga berpendapat, kebocoran pajak bisa berakibat sangat buruk, apalagi
untuk negara seperti Indonesia yang mempunyai angka kemiskinan sangat tinggi,
jelas membuat pemerintah sulit memberantas kemiskinan, membuat utang pemerintah
bengkak.
Ironinya, kata
Anthony, banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat pajak, antara lain
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian
Keuangan periode 2016-2019, Angin Prayitno Aji.
Untuk pelaku
penyuapan di antaranya PT Gunung Madu Plantations (GMP) untuk tahun pajak 2016;
PT Bank PAN Indonesia (Panin) Tbk tahun pajak 2016, dan PT Jhonlin Baratama
untuk tahun pajak 2016 dan 2017.
“Itu yang
ketahuan. Mungkin masih banyak kasus kebocoran pajak yang tidak atau belum
ketahuan,” tukasnya.
Anthony juga
menyesalkan penerimaan pajak yang terus menurun. “Apakah kondisi ini ada
hubungannya dengan korupsi dan kebocoran?” tanyanya.
Rasio
penerimaan pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), kata dia, hanya sekitar
10 persen, salah satu yang terendah di ASEAN, lebih rendah dari Vietnam,
Malaysia, atau Thailand.
Sedangkan salah
satu target kebijakan pemerintah, tax amnesty 2016/2017, untuk meningkatkan
rasio pajak menjadi 14,6 persen di 2019, nyatanya hanya 9,8 persen. Ada selisih
5 persen. Jumlah itu hampir mencapai Rp1.000 triliun, dengan PDB 2022 yang
mencapai hampir Rp20.000 triliun.
“Kenapa rasio
pajak Indonesia begitu rendah? Apakah ada kebocoran pajak, dan yang tertangkap
hanya fenomena puncak gunung es. Artinya, yang tidak terungkap atau belum
terungkap jauh lebih besar dari yang kelihatan?” tegasnya.
Dia menduga
Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak mampu menaikkan rasio pajak yang terus
turun. Terlebih amnesty gagal total, rasio pajak malah turun setelah
diberlakukan tax amnesty. Yang menjadi sasaran akhirnya masyarakat kelompok
bawah.
“PPN naik,
harga BBM naik, angka kemiskinan naik. Semua itu mencerminkan bahwa menteri
keuangan gagal total. Wajib mundur,” pungkasnya.[SB]