Maraknya misinformasi dan hoaks di Twitter, apalagi yang menyangkut perubahan iklim, membuat sejumlah ilmuwan resah.
Berita hoaks perubahan iklim meningkat ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pengambil alihan Twitter oleh Elon Musk. Meningkatnya konten-konten seperti itu, memicu peningkatan jumlah pihak yang skeptis dengan perubahan iklim di platform tersebut.
Ada lebih banyak tweet dan retweet yang menggunakan terminologi skeptis iklim pada 2022 dibandingkan tahun lainnya sejak Twitter didirikan pada 2006, menurut analisis yang dilakukan peneliti Universitas London, Inggris, dikutip dari The Times.
"Penolakan iklim di Twitter sudah menjadi kobaran api, seolah-olah ada satu liter gas yang dilemparkan ke atasnya," kata ilmuwan iklim Katharine Hayhoe kepada The Times.
Sebagian besar peningkatan misinformasi iklim baru-baru ini dapat dikaitkan dengan satu tagar: #climatescam. Tagar itu membuat sekitar 40 persen tweet tahun ini berisi bahasa skeptis iklim.
Sekarang, "#climatescam" muncul sebagai hasil teratas saat mencari "#climate" di Twitter. Tagar itu menyuguhkan informasi palsu tentang perubahan iklim.
Salah satu postingan populer menyertakan gambar yang mendefinisikan "perubahan iklim buatan manusia sebagai malapetaka buatan yang digunakan para globalis/sosialis untuk menanamkan rasa takut dan rasa bersalah untuk membebani, mengatur, dan menghilangkan kebebasan kita sambil berpura-pura menyelamatkan planet ini".
Sejumlah lembaga penelitian menegaskan emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil menyebabkan perubahan iklim. Sebuah laporan iklim utama PBB yang diterbitkan tahun lalu oleh 230 penulis dari 66 negara menyimpulkan, aktivitas manusia bertanggung jawab atas cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi di seluruh planet ini.
Namun demikian, misinformasi tentang perubahan iklim meledak di Twitter pada bulan November saat delegasi dari seluruh dunia bertemu untuk konferensi iklim penting PBB .
Sementara itu, para ilmuwan dan pakar iklim sebenarnya sedang mempertimbangkan untuk meninggalkan Twitter karena platform tersebut gagal memoderasi konten berbahaya.
Secara terpisah, Center for Countering Digital Hate juga menemukan peningkatan ujaran kebencian di Twitter sejak Elon Musk mengambil kendali perusahaan, menurut laporan The Verge.[sb]