Pengamat mengkritik keras rencana Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mematok tarif KRL baru untuk orang kaya. Jika terwujud, itu menjadi ironi yang merusak hakikat angkutan umum.
Budi menegaskan tarif KRL tidak akan naik di 2023, tetapi bakal ada penyesuaian bagi kelompok masyarakat mampu. Orang kaya bakal membayar tarif KRL tanpa subsidi.
Skema kartu disiapkan Budi untuk membedakan profil penumpang KRL. Meski arah kebijakan ini belum jelas, Budi pede hal tersebut adalah langkah pas agar subsidi tepat sasaran.
"Memang diskusi kemarin dengan Bapak Presiden, kami akan pilah-pilah. Mereka yang berhaklah yang akan mendapatkan subsidi. Jadi mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar dengan membuat kartu," ungkap Budi di Kantor Kemenhub, Jakarta, Selasa (27/12).
Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan pihaknya tengah mengkaji pilihan-pilihan kartu perjalanan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan kemampuan membayar.
Adita menegaskan tarif KRL masih disubsidi negara lewat skema public service obligation (PSO). Namun, kenaikan biaya operasional belum dibarengi dengan kenaikan tarif.
"Maka perlu dilakukan berbagai upaya agar besaran PSO tetap dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran untuk masyarakat yang membutuhkan," jelasnya dalam keterangan resmi.
Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Mohamad Risal Wasal menegaskan pihaknya sedang mengumpulkan data dari lembaga atau kementerian terkait untuk merumuskan kebijakan tarif KRL orang kaya.
Merespons bola liar yang bergulir, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang menyampaikan dua perspektif yang bisa membuka mata Kemenhub.
"Kalau menurut saya mengenai masalah tarif itu memang agak aneh atau ironis. Mungkin baru ada di Indonesia kalau misal itu (tarif KRL orang kaya) benar-benar terjadi, diaplikasikan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/12).
Deddy menegaskan di belahan dunia mana pun, termasuk Hong Kong, Jepang, hingga negara-negara Eropa, menerapkan tarif KRL yang sama. Tidak ada perbedaan tarif untuk orang kaya, miskin, tidak mampu, hingga setengah mampu.
Ia tak bisa membayangkan jika nanti ada warga negara asing (WNA) atau masyarakat di luar Jabodetabek yang datang ke Ibu Kota dan naik KRL malah ditanya data kekayaan, laporan pajak, hingga nomor pokok wajib pajak (NPWP).
"Semuanya diberlakukan tarif yang sama, apalagi transportasi KRL itu (angkutan) umum. Jadi menurut saya justru (perbedaan tarif) itu tidak tepat," tegas Deddy.
Kendati, Deddy setuju soal subsidi tepat sasaran. Menurutnya, mereka yang berpenghasilan di bawah upah minimum regional (UMR) bisa menjadi sasaran target subsidi tarif KRL.
Ia menyarankan sinergi pendataan masyarakat tidak mampu bisa dimulai dari RT/RW. Setelah itu, Kemenhub dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Sosial (Kemensos) perlu selaras dalam pengecekan data.
Deddy tak menutup mata soal kehadiran berbagai kartu dengan niat subsidi untuk orang miskin, seperti kartu Indonesia sehat (KIS) hingga kartu Jakarta pintar (KJP). Ia menyayangkan kartu subsidi transportasi tak kunjung ada.
"Jadi kalau semisal pemerintah mau menaikkan tarif, itu silakan, tapi yang disubsidi harus benar-benar yang tidak mampu. Itu ada semacam kartu transportasi, itu yang harus diaplikasikan. Saya pikir data-datanya bisa kalau misalnya ada niat yang baik," jelasnya.
Deddy menegaskan jangan sampai subsidi tepat sasaran ini menimbulkan kecemburuan sosial. Ia khawatir nantinya si kaya malah semena-mena dengan si miskin yang tarifnya lebih murah.
Menurutnya, perlu ada pendekatan sosiologis untuk penerapan perbedaan tarif KRL. Pasalnya, para penumpang kemungkinan tetap bercampur dalam gerbong yang sama.
"Memang tidak bisa serta-merta ini harus tarif si kaya, si miskin, atau tarif biasa, nanti akan blunder sosial malah menjadi petaka besar transportasi kita yang harusnya shifting angkutan umum berhasil malah gagal," ujarnya.
Tarif Orang Miskin dan Kaya Sulit Diterapkan
Ki Darmaningtyas selaku Ketua INSTRAN sekaligus Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) 2005-2019 dan Dewan Pengawas Indonesia Road Safety Partnership (IRSP) menyampaikan pandangan serupa.
Bagi penumpang KRL yang pendapatannya pas-pasan, seperti cleaning service, penjaga keamanan, penjaga toko, atau pekerja serabutan yang merasa keberatan dengan kenaikan tarif KRL bisa mengajukan keringanan.
Nantinya, mereka yang keberatan akan diberikan tarif sesuai kemampuan. Dengan begitu, Darmaningtyas yakin subsidi tersebut bakal tepat sasaran karena diberikan kepada mereka yang betul-betul memerlukan.
Jika Menhub ingin mereka yang berdasi harus membayar lebih, Darmaningtyas menegaskan secara teknis hal tersebut justru sulit dilaksanakan. Sebab, hampir tidak ada penumpang KRL, baik di wilayah Jabodetabek maupun lintas Solo-Yogya yang menggunakan dasi.
Kalau kata 'dasi' itu sebagai metafor untuk menggambarkan golongan mampu, ia mempertanyakan berapa juta batasan pendapatan mereka yang akan dikelompokkan menjadi golongan mampu dan siapa yang akan melakukan verifikasi.
"Jadi gagasan ini justru lebih rumit diterapkan di lapangan daripada memberikan subsidi yang tepat sasaran," tegas Darmaningtyas.
Menurutnya, solusi yang pas jika dibutuhkan kenaikan tarif KRL adalah naik Rp2.000 untuk 25 km pertama. Lalu, bagi mereka yang tidak mampu bisa mengajukan permohonan subsidi.
Sementara itu, Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna tegas menyebut rencana perbedaan tarif KRL melenceng dari hakikatnya sebagai angkutan umum.
Yayat menyarankan jika Kemenhub ingin menaikan tarif KRL, sebut saja berapa besaran kenaikannya. Namun, jangan memunculkan skema tarif baru, termasuk untuk orang kaya.
Ia menegaskan KRL adalah angkutan umum yang bersifat inklusif atau angkutan untuk semua orang. Jika perbedaan tarif KRL diberlakukan, esensinya sebagai angkutan umum ternodai.
"Jadi kalau (tarif) orang kaya dinaikkan maka KRL tidak bersifat inklusif lagi. Justru adanya PSO ini membantu mengurangi kemacetan dan jadi daya tarik orang kaya naik KRL ke tempat kerja," ungkap Yayat.
Di lain sisi, Yayat memprediksi bakal ada lonjakan pengguna sepeda motor jika tarif KRL untuk orang kaya resmi diketok. Menurutnya, KRL menjadi moda transportasi pilihan bagi mereka yang tinggal di pinggiran Jakarta.
Kota terdekat Jakarta yang menggunakan sepeda motor adalah Depok dan Bekasi. Jika tarifnya dinaikkan, Yayat menilai pengguna sepeda motor dari dua kota tersebut bisa menembus 80 persen.
"Naik dari kisaran antara 60-70 persen menjadi bertambah 10 persen. Jadi naik jumlah pengguna sepeda motornya. Maka harus jelas dulu arah kebijakan ini siapa yang sebenarnya pengguna KRL," jelasnya.
Muncul Masalah Baru
Pengamat Transportasi sekaligus Dosen Teknik Sipil Universitas Indonesia Andyka Kusuma ikut menyayangkan wacana perbedaan tarif KRL.
Selain menyalahi filosofi angkutan umum, Andyka menilai bakal muncul masalah baru berupa penyalahgunaan tiket. Ia menilai masyarakat bakal mencari celah untuk mengakali kebijakan ini dan menyulitkan operasionalisasi di lapangan.
"Filosofi angkutan umum itu harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada angkutan massal perkotaan, tidak ada kota di dunia yang membedakan-bedakan kelas perjalanan," tegas Andyka.
Kritik lain juga datang dari Pengamat Transportasi Muslich Zainal Asikin. Muslich menyebut rencana Kemenhub memberlakukan tarif KRL orang kaya adalah kebijakan aneh.
Menurutnya, 2023 adalah tahun sulit di mana pemerintah bakal mengalami kesulitan cash flow akibat pengambilan keputusan yang keliru. Oleh karena itu, Muslich menegaskan tidak perlu ada tarif khusus KRL.
Perbedaan tarif KRL dianggap tidak pro rakyat dan transportasi umum. Pemerintah semestinya fokus meminimalisir semua gangguan yang menghambat produktivitas KRL dengan target bisa diselesaikan tahun depan.
Ia menyoroti gangguan pertemuan sebidang antara kereta dengan lalu lintas lain. Menurutnya, pemerintah harus membangun underpass dan fly over di sepanjang lintasan kereta agar frekuensi KRL bisa semakin tinggi.
"Sehingga waktu perjalanan akan semakin pendek, bukan aneh-aneh dengan membuat kebijakan yang tidak memiliki landasan success story," tegas Muslich.
Jika waktu perjalanan semakin pendek, KRL akan semakin menarik dan jumlah penumpang bisa meningkat. Hal tersebut bakal mengurangi jumlah pemakaian kendaraan pribadi.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana mengatakan tidak tepat jika rasionalitas yang digunakan Kemenhub atas kebijakan tarif KRL orang kaya untuk menurunkan beban subsidi.
Menurutnya, kebijakan tersebut pasti akan mendorong lebih banyak orang membeli kendaraan pribadi, termasuk mobil. Hal ini jelas dapat menambah tingkat kemacetan.
Krisis Listrik di Negeri Gelimang Batu Bara
"Naif bila dikatakan kenaikan tarif KRL bagi 'orang kaya' tidak akan mengurangi tingkat permintaan mereka untuk menggunakan KRL. Penurunan permintaan pasti terjadi, apalagi orang kaya memiliki elastisitas yang relatif lebih tinggi untuk beralih ke kendaraan pribadi," jelas Andri.
Efek domino pun akan terjadi, menyasar kepada ketergantungan bahan bakar minyak (BBM) yang sebenarnya juga masih disubsidi oleh pemerintah.
Lebih lanjut, Andri memprediksi naiknya tarif KRL bakal berdampak luas hingga ke pola konsumsi masyarakat. Menurutnya, orang kaya punya kontribusi penting yang tak bisa dikesampingkan.
"Pekerja berpenghasilan tinggi cenderung lebih aktif dalam tingkat konsumsi. Berkurangnya pendapatan yang diambil dari naiknya tarif commuting ini bisa berdampak pada berkurangnya konsumsi di sektor lain yang lebih rawan," jelasnya.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai persoalan tarif KRL tidak sederhana. Sulit mendefinisikan siapa yang mampu dan tidak mampu.
Tarif KRL Orang Miskin dan Kaya Nodai Hakikat Angkutan Umum
Ia menilai kereta api adalah angkutan umum yang tidak terbatas pada kelompok atau golongan tertentu. Seharusnya pemerintah fokus menyiapkan moda yang aman dan nyaman untuk semua lapisan masyarakat.
Dalam konteks lebih luas, Yusuf melihat momentum kenaikan tarif KRL berbarengan dengan masih relatif tingginya inflasi, baik di tahun ini maupun di 2023.
"Kenaikan tarif KRL tentu juga akan ikut mendorong inflasi masih berada pada level yang tinggi dan ini tentu tidak menjadi ideal bagi upaya untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama mereka yang berkategori pendapatan menengah dan bawah," ujarnya.
Yusuf setuju subsidi harus diberikan kepada orang yang betul-betul membutuhkan, dengan catatan Kemenhub perlu tegas mendefinisikan siapa yang masuk dalam kategori golongan mampu jika ingin memberlakukan perbedaan tarif.
Ia skeptis soal porsi orang kaya yang menggunakan KRL. Yusuf menilai bisa saja sebenarnya KRL ternyata lebih banyak digunakan oleh kelompok menengah ke bawah yang memang wajar masih mendapatkan subsidi dari pemerintah.[sb]