Kepala Staf Presiden Moeldoko mewanti-wanti masyarakat agar berhati-hati terhadap politisasi agama menjelang Pemilu 2024. Peringatan ini disampaikan di depan 1.200 peserta dialog kebangsaan di Sumatera Utara yang terdiri dari mahasiswa mahasiswi Institut Kesehatan Deli Husada dan para pemuka agama.
"Menjadikan agama sebagai alat politik untuk mencari kekuasaan akan menjadikan agama rentan terlibat dalam konflik sosial," kata mantan Panglima TNI 2013-2015 ini dalam keterangan tertulis, Rabu, 21 Desember 2022.
Awalanya, Moeldoko menyerukan pentingnya moderasi beragama untuk memperkukuh toleransi dan meneguhkan kerukunan di tengah masyarakat yang beragam. "Dalam konteks berkebangsaan, jangan lagi bicara mayoritas dan minoritas," kata dia.
Ia mencontohkan kejadian saat puncak pandemi Covid-19, di mana masyarakat bahu-membahu bersama untuk pulih. "Seandainya gotong royong ini terus dilakukan, bangsa ini akan menjadi kuat, tidak lagi harus menunggu common enemy,," kata Moeldoko.
Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020-2024, kata Moeldoko, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sangat tegas menyatakan komitmen mendorong implementasi moderasi beragama di Indonesia.
Berikutnya, Moeldoko juga menyinggung bagaimana Indonesia pada awal November 2022 lalu telah menyelenggarakan Religion Forum of 20 (R20). Acara ini dihadiri sekitar 464 pimpinan agama-agama dari 32 negara sebagai bagian dari agenda G20.
Moeldoko menjelaskan bahwa dalam pertemuan R20 tersebut disepakati setidaknya tiga hal. Mulai dari pemimpin agama harus tegas menolak politisasi identitas, para pemuka agama diandalkan untuk membimbing umatnya dalam mengatasi krisis dan agama harus menjadi solusi bagi perdamaian dunia.
"Mohon bisa bersama-sama kita terlibat secara langsung untuk membangun negara ini. Membangun negara tidak bisa hanya mengandalkan peran pemerintah, tapi butuh peran semua elemen masyarakat," ujarnya.
Sementara itu, Dewan Pembina Forum Bersama Umat Kebangsaan, Pdt. Perdi Sembiring yang hadir dalam acara, menyebut para pendeta paham tentang jalan menuju surga. Akan tetapi, para pendeta sering sekali mereka tidak punya pemahaman tentang kebangsaan dan untuk berkontribusi pada bangsa negara. "Maka para pemuka agama memang perlu dinasehati dan diberi arahan," kata dia.
Dalam catatan Tempo, ini bukan peringatan pertama yang disampaikan Moeldoko. Sebelumnya, Moeldoko menyinggung soal potensi meningkatnya radikalisme menjelang Pemilu Serentak 2024. Ia mengutip survei yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT pada 2020.
Survei ini menyebutkan potensi radikalime mencapai 14 persen pada 2020. Menurut Mantan Panglima TNI ini, potensi tersebut adalah data dalam kondisi anomali saat pandemi.
"Tahun politik 2023-2024 ke depan, ada kecenderungan akan meningkat," kata dia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 20 November 2022.
Moeldoko menyebut kenaikan potensi radikalisme tersebut terjadi akibat politik identitas menjelang pemilu. Sehingga, Ia menyebut pemerintah perlu waspada dengan potensi di tahun politik tersebut.
Meski demikian, Moeldoko enggan merinci identitas kelompok yang berpotensi menggerakkan radikalisme. Ia menyerahkan urusan tersebut kepada BNPT.
Sebab, BNPT tentu memiliki standar untuk menentukan seseorang atau kelompok terpapar radikalisme atau tidak. "Stigma radikalisme itu apakah buatan versi pemerintah, apa kenyatannya tidak seperti itu, saya serahkan untu tanya BNPT," kata dia.
Untuk itu, Moeldoko menyebut situasi peningkatan potensi radikalisme ini membutuhkan kesadaran dari semua pihak untuk mencegahnya. "Jadi ini perlu kita announce agar kita semua memiliki awareness," ujarnya.
Pada 4 Oktober lalu, Deputi Kerjasama Internasional BNPT Andhika Chrisnayudhanto juga menjelaskan kembali hasil survei BNPT ini. Andhika menyebut survei ini mengukur indeks risiko terorisme dan potensi radikalisme.
Survei menemukan bahwa perempuan muda lebih rentan terhadap radikalisasi online dibandingkan dengan pria.Juga ditemukan bahwa radikalisasi online lebih rentan terhadap generasi z dan milenial, termasuk mereka yang berada di perkotaan.
"Indonesia melihat radikalisasi dan rekrutmen online oleh teroris masih menyasar kaum muda," kata Andhika dalam acara seminar internasional di UIN Jakarta.[sb]