Pencarian gas alam di tingkat dunia mengancam Paris Agreement, sebuah perjanjian untuk membatasi tingkat pemanasan global di angka 1,5 derajat celsius. Negara-negara di dunia berlomba mencari sumber gas alam setelah invasi Rusia ke Ukraina.
Mengutip AFP, analisa dari organisasi non-pemerintah Climate Action Tracker menunjukkan, proyek LNG yang disetujui dan diajukan hingga 2050 akan menghabiskan budget karbon dunia untuk membatasi angka 1,5 derajat celsius tersebut.
Krisis energi yang disebabkan pembatasan pasokan dari Rusia mulai terasa dampaknya. Sejumlah negara di Eropa, Afrika, Amerika Utara, Asia, dan Australia mulai mengekspansi produksi LNG dan kapasitas impornya.
"Dunia telah melampaui tawar-menawar mereka untuk merespon krisis energi," kata Bill Hare selaku CEO dari Climate Analytics.
"Analisa kami menunjukkan konstruksi LNG yang diajukan dan disetujui, telah melampaui jumlah yang dibutuhkan untuk menggantikan gas Rusia," katanya menambahkan.
Pada 2030, jumlah LNG bisa meroket hingga 500 juta ton, sama dengan hampir lima kali impor gas Rusia oleh Uni Eropa pada 2021 dan dua kali ekspor gas Rusia secara global.
Emisi yang dihasilkan -sekitar 2 miliar ton karbon dioksida setiap tahun pada tahun 2030- tidak sejalan dengan usaha untuk menciptakan dunia bebas karbon pada pertengahan abad ini, termasuk dengan usaha yang dibuat Agensi Energi Internasional Lintas Pemerintahan (IEA).
Darurat
Terkait hal ini Hare mengatakan, menggantungkan nasib kepada gas dari bahan bakar fosil tidak bisa menjadi solusi krisis iklim dan energi di mana pun.
Proyeksi tahunan terkait seberapa banyak rencana dan janji dunia untuk mengurangi pemanasan global tidak menunjukkan pergerakan dibanding tahun lalu.
Hanya ada sedikit negara yang meningkatkan target jangka pendek mereka, atau membuat komitmen baru yang lebih panjang soal nol emisi, sejak pertemuan iklim COP26 November 2021 di Glasgow, Skotlandia.
Semua negara yang menghargai janji soal karbon mereka di bawah Kesepakatan Paris 2015 lalu, akan melihat peningkatan suhu global di angka 2,4 derajat celsius di atas level pra-industrial.
Dengan pemanasan hampir 1,2 derajat celsius hingga saat ini, dunia telah melihat rentetan gelombang panas, banjir, kekeringan, dan badai yang muncul terus-menerus. Hal itu diperburuk dengan peningkatan level permukaan air laut.
Tahun 2022 sendiri telah menjadi tahun yang penuh kekacauan iklim. Pakistan misalnya, masih terendam air setelah banjir merendam sepertiga negara tersebut pada Agustus lalu.
Tahun ini pula, kebakaran hutan terjadi di hampir seluruh wilayah Eropa, Rusia, dan Amerika Utara. Sejumlah rekor suhu panas juga terjadi di tiga benua.
"Dengan negara-negara berfokus kepada krisis energi, tahun ini menjadi tahun dengan aksi yang paling sedikit soal iklim," kata Niklas Hohne, analis dari NewClimate Institute.
"Untuk membatasi pemanasan global di angka 1,5 derajat celsius, negara-negara harus mengalihkan fokus mereka kepada iklim, seperti yang mereka lakukan terhadap krisis energi," katanya mengakhiri.[SB]